Yang Tersembunyi dalam Pusaran Badai Tukar Guling TKD Perum Bumi Sumekar, Antara Korupsi dan Niat Pemerasan!

Kurniadi
6 Min Read
Kado Untuk Dewi, Hambali dan Very!
Foto : Kurniadi Als. Raja Hantu (Pembina YLBH-Madura)

Tukar guling Tanah Kas Desa (TKD) antara 3 Pemerintah Desa (Pemdes) di Kabupaten Sumenep dengan PT. Sinar Mega Indah Persada (PT.SMIP) yang terjadi bulan Januari 1997 silam, menimbulkan polemik hukum.

Polda Jawa Timur sejak tanggal 24 Maret 2021 menyatakan tukar guling tersebut terdapat tindak pidana korupsi. Dan sejak tanggal 22 November 2023, menetapkan 3 orang Tersangka. Masing-masing adalah HS (Direktur PT.SMIP), MR (Mantan Kades tapi bukan kades yang membuat keputusan tukar guling), dan MP (Pensiunan mantan Kasi Ukur Pertanahan Kabupaten Sumenep.

Kesimpulan mengenai adanya tindak pidana, serta penetapan Tersangka itu didasarkan pada bukti bahwa TKD tersebut dinilai tidak ada tanah penggantinya sehingga Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Jawa Timur menyatakan kalau tukar guling tersebut ada kerugian negara sebesar Rp. 114 Milyar.

Sedangkan mengenai Sertifikat Hak Pakai (SHP) atas nama Pemdes yang merupakan tanah pengganti dari tukar guling dinilai Penyidik diterbitkan secara tidak benar, antara lain karena tanah tersebut terdapat leter C. Dan/atau tanah pengganti tersebut merupakan tanah milik orang lain yang tidak memungkinkan untuk diterbitkan sertipikat kepada atas nama Tersangka HS dan kemudian dialihkan kepada Pemdes.

Polda pun menilai Kepala Desa (yang membuat keputusan tukar guling), Bupati Sumenep dan Gubernur Jatim (yang menyetujui tukar guling), Kantor Pertanahan Sumenep dan Kanwil BPN Jatim (yang melakukan penilaian tanah), kesemuanya lalai dalam melaksanakan fungsi-fungsi jabatannya karena mereka tidak turun lapangan sehingga tidak mengetahui kalau tanah pengganti tersebut tidak ada.

Atas penilaian polda yang demikian, saya hanya bisa mengatakan gila. Sekali lagi: GILA! Gila, karena tanah pengganti yang luasnya puluhan hektar serta yang nilainya ratusan milyar ini dinilai tidak ada sama sekali. Jika tanahku ada 10 bidang, lalu diganti hanya 7 bidang, ini masih masuk akal. Ini tidak ada penggantinya sama sekali! Benar-benar gila!.

Sebodoh itukah mereka? Segila itukah mereka? Memperoleh keuntungan apa mereka? Perlu diketahui, tukar guling ini melibatkan pejabat pemerintahan pada semua jenjang. Ditingkat desa bukan hanya ada Kepala Desa tapi ada juga BPD, berikut dengan camatnya. 

Demikian pula ditingkat Bupati. Bukan hanya ada Bupati melainkan ada Tim dari lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang jumlah tidak kurang dari 15 orang. Demikian pula tingkat Gubernur. 

Demikian pula Pertanahan Sumenep. Bukan hanya ada dari Kantor Pertanahan Kabupaten, tetapi ada juga dari Kantor Wilayah (Kanwil) Propinsi Jawa Timur.

Kepala Desa bodoh. BPD Bodoh. Camatnya bodoh. Bupatinya bodoh. Gubernurnya bodoh. Pertanahan ya bodoh. Lantas yang pinter hanya Penyidik Polda Jatim yang begitu gila menyatakan tanah TKD tidak ada penggantinya, lalu mencari aman hanya dengan mengatakan bahwa tanah pengganti tersebut milik orang lain dan sertifikat diterbitkan secara tidak benar?.

Lantas yang pinter juga hanya BPKP yang menghitung angka kerugian tanpa memperhitungkan adanya tanah pengganti sama sekali, dan hanya membungkuk membenarkan hal-hal yang diminta oleh penyidik?. 

Ahh,, saya juga akhirnya hanya ikut bodoh. Saya tidak bisa menilai siapa diantara mereka yang lebih pintar dan paling bodoh. Jika yang pinter penyidik, kenapa penyidik tidak melakukan penyitaan atas tanah barang bukti, dan bahkan membiarkan tanah barang bukti terus menerus menyerap anggaran dari berbagai sumber? Baik dana DD, Hibah Pemerintah dan bahkan dari APBN?

Bagaimana jika sangkaan Penyidik benar bahwa tanah tersebut hasil korupsi? Bukankah pembiaran penyidik juga merupakan kelalaian hingga menimbulkan kerugian negara yang lebih besar lagi?

Atau, apakah diamnya penyidik demi pertimbangan dirinya sendiri? Misalnya tidak ingin disorot oleh ribuan warga yang tinggal di atas tanah hasil korupsi tersebut? Tapi itu kan hanya sementara? Toch jika sangkaannya terbukti, tanah mereka juga harus disita untuk negara. Artinya, pada akhirnya penyidik akan berhadapan dengan ribuan warga yang menghuni area tersebut.

Konyol. Sungguh konyol. Aku bingung. Lantas, sejak kapan penyidik memiliki kewenangan untuk menilai benar tidaknya penerbitan sertifikat yang merupakan produk tata usaha negara? Pula, sejak kapan penyidik juga memiliki kewenangan untuk menentukan siapakah yang berhak atas suatu tanah yang sedang diperselisihkan antar sesama yang mengaku sebagai pemilik?

Tapi, akhirnya saya ingat beberapa cerita. Bahwa tidak sedikit ada Aparat Penegak Hukum (APH) yang juga menyalahgunakan jabatannya untuk memperoleh rejeki nomplok secara tidak halal. Memeras siapa saja yang memiliki kepentingan dengannya. Baik sebagai korban maupun terlapor, sama-sama potensi mengeluarkan uang demi perkaranya kepada penyidik.

Bahwa tindak pidana korupsi unsur deliknya adalah adanya pejabat yang memiliki pengaruh dan wewenang atas keuangan negara. Tapi sayangnya, yang ditetapkan tersangka justru adalah mereka yang tidak memiliki wewenang. Benar. Saya kembali bodoh.

Rakyatpun lupa, bahwa penyidik adalah penyelenggara pemerintahan dibidang hukum yang seharusnya menjadi objek controlnya. Lembaga penyidikan bahkan memiliki riwayat kelam yang memberangus demokrasi dan kebebasan rakyat. Ia menjadi kepanjangan tangan kekuasaan sepanjang pemerintahan Orde Baru.

Kembali ke laptop. Mana yang benar, antara penyidik dengan pemerintah, Wallahu A’lam Bil Al-Showaf!!!

- Advertisement -
Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan