SUMENEP (galaksi.id)– Aksi boikot sejumlah anggota DPRD Sumenep terhadap Pelaksanaan Rapat Paripurna tanggal 23 Juni 2021 yang lalu, memperoleh apresiasi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Madura (YLBH-Madura), yang menilai aksi tersebut sebagai sikap politik yang sudah tepat dan berdasarkan hukum.
Setelah YLBH-Madura, Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Anggaran Publik (LAPDAP) Madura kini juga muncul menyoroti fenomena dibalik paripurna tersebut.
LAPDAP-Madura melalui Ketuanya, Astri Dwifariyanti, mengatakan pihaknya menduga terdapat praktek politik-prostitutif atau pelacuran politik yang dilakukan oleh oknum Pimpinan DPRD berkaitan dengan pelaksanaan Paripurna tersebut.
“Kalau aromanya sich pelacuran politik Parlemen, ya. Institusi parlemen bisa kotor nich,” Ujar Astri pada awak media ini melalui sambungan telpon selulernya (26/06).
Keadaan tersebut menurut Astri, tergambar jelas oleh pernyataan H.Latif (ketua Fraksi PPP) yang menyebut tidak qourumnya Paripurna tersebut disebabkan karena sebagian anggota merasa iri atas jatah pokir yang pembagiannya sangat jomplang, dimana Pimpinan DPRD memperoleh jatah 3,5 Milyar, Ketua Fraksi 2,5 Milyar, sedangkan anggota hanya memperoleh 2 Milyar.
Pernyataan H. Latif tersebut juga diperkuat oleh penyataan Sekretaris Komisi-3, M.Ramzi, yang ketika disinggung soal pokir menyatakan bahwa adil itu tidak berarti pembagian harus sama melainkan proporsional.
Pernyataan sekretaris Komisi-3 ini dinilai Astri sebagai pernyataan yang sama saja dengan pengakuan bahwa Paripurna tanggal 23 Juni dilatari adanya komitmen mengenai transaksi politik anggaran antara eksekutif dengan oknum pimpinan dan anggota DPRD, terutama yang pro paripurna.
Astri menyayangkan perilaku oknum pimpinan dan sejumlah anggota parlemen tidak menjadikan paripurna sebagai ajang melaksanakan fungsi-fungsi pengawasan terkait penggunaan APBD TA 2020 oleh Eksekutif.
Menurut Astri, konfigurasi Pendukung Paripurna (Pro Paripurna), tidak dapat mengelak kalau keterlibatannya dalam paripurna merupakan bagian dari hasil negosiasi dan transaksi politik legislatif dengan eksekutif mengenai jatah pokirnya yang mayoritas lebih besar daripada anggota yang lainnya.
Diberitakan sebelumnya, boikot terhadap Paripurna oleh mayoritas anggota dewan bukan karena jatah pikirnya sedikit melainkan karena paripurna dinilai inkonstitusional, yakni tidak dijadwalkan oleh Badan Musyawarah (Bamus). (Eva/Red).