OPINI

Jailangkung
7 Min Read

KEKUASAAN
Oleh:
Moh. Rasul Junaidy *)

ORANG boleh saja menatap, menilai, dan menakar kekuasaan dengan cara pandangnya sendiri. Namun satu hal yang pasti, orang yang biasa bergelut dengan politik (kekuasaan) perlu diperingatkan agar berhati-hati untuk tak bermain-main dengannya.

Peringatan ini perlu dilontarkan mengingat betapa mudahnya mereka yang tengah memiliki kekuasaan pada umumnya dan penguasa politik pada khususnya sangat mudah untuk lupa diri, sehingga tak jarang justru berbalik menjadi korbannya.

Bukan hanya kebetulan bila seorang sejarahwan Inggris, Lord Action dengan diktumnya yang sangat populer mengatakan bahwa kekuasaan cenderung korup (jahat) dan kekuasaan mutlak paling jahat, (power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely).

Seringkali mereka yang berkuasa mudah sekali memiliki pikiran yang memandang bahwa kekuasaan (power) lebih esensial daripada guna kekuasaan itu bagi masyarakatnya.

Namun demikian, rasanya ada yang kurang fair kalau hanya melihat kekuasaan dengan dimensi represif (negatif) semata. Sebab, dalam interaksi sosial menunjukkan bahwa kekuasaan senantiasa selalu hadir dan diperlukan di dalamnya.

Filsuf Perancis, Michel Foucault menyatakan keberadaan dimensi positif dari kekuasaan. ‘’Apa yang membuat kekuasaan memiliki nilai kebaikan (dan) diterima adalah karena kekuasaan tidak hanya membebani kita, tetapi (juga) menghasilkan sesuatu yang menyebabkan kesenangan, bentuk-bentuk pengetahuan (knowledge) dan menghasilkan diskursus/wacana.”


Setiap hari di media cetak, elektronik, juga media sosial, kita disuguhi pemberitaan kekuasaan yang korup. Satu orang divonis, satu lagi jadi tersangka. Satu lagi tertangkap operasi tangkap tangan, satu lagi dalam penyidikan, satu lagi disebut-sebut berpotensi sebagai tersangka.

Pendek kata, terlalu banyak cerita para pemegang kekuasaan menjadi korban akibat penyalahgunaan kekuasaannya (abuse of power). Mang menyebalkan sekali menyaksikan semua ini.

Tapi herannya, di tengah-tengah kita rupanya nafsu berkuasa mudah berkembang.
Ironisnya, para pemegang kekuasaan acapkali belum juga kapok-kapok dan masih berani “bermain-main” dengan kekuasaannya.

Alih-alih mau belajar dan bercermin dari beberapa kasus koruptor yang tertangkap dengan vonis yang sangat berat, seringkali “mereka” lebih suka menjadi “pemimpin” yang berteriak sampai serak akan membangun pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang pro rakyat, sambil membiarkan praktek-praktek kolutif, korupsi, dan nepotisme tumbuh subur di sekelilingnya.

Jika simplikasi semacam itu tetap dipertahankan, maka apa yang sering disebut sebagai fase reformasi total hanya bakal jadi slogan yang tidak memiliki makna dan nilai sama sekali. Seolah-olah hendak melakukan pembaharuan dan mereformasi, namun sebetulnya tetap dengan posturnya yang kerdil, tak dewasa, jauh dari kematangan.

Para elitenya sibuk berdebat soal-soal politik yang tak substansif, sementara rakyat yang mereka atasnamakan sedang bergelut dengan kesulitan hidup dan kemiskinan.


Itu sebabnya, Yudi Latief (2009) menekankan bahwa negeri ini tak bisa dipimpin oleh kebohongan. Sekali menggunakan kebohongan sebagai cara meraih kekuasaan, manipulasi dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktik memimpin.

Hasil dari tindak kebohongan ini adalah pembodohan dan pengabaian rakyat secara berkelanjutan. Itulah mengapa asas fairness, kejujuran, dan keterbukaan, mendarah seluruh prosesi pemilihan.

Sejatinya, kekuasaan yang lahir dari kebohongan merupakan kekuasaan yang abai pada penghormatan martabat manusia. Jenis kekuasaan seperti itu biasanya berwatak pangreh praja (minta dilayani) ketimbang mau melayani masyarakat (pamong praja).

Praktek operasi semacam itulah yang menghasilkan kekuasaaan yang jumawa, angkuh namun sesungguhnya kekanak-kanakan dengan berlama-lama mengatasnamakan “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.”

Salah seorang proklamator, Bung Hatta, sekitar setengah abad yang lalu pernah mengingatkan kepada bangsa kita agar negara ini tidak dikuasai dan jatuh di bawah tangan tangan mafioso. Ironisnya, episode demi episode yang dipertontonkan di republik ini, para pejabat publik dalam kaitan dengan masalah korupsi akhir-akhir ini mendekati kekhawatiran bapak bangsa ini.

Memang, persoalan kemiskinan membuat bangsa ini tidak memiliki banyak hal. Namun penyalahgunaan kekuasaan yang bermuara pada ketamakan dan keserakahan membuat bangsa ini kehilangan segalanya.

Kehilangan terbesar bangsa ini, kata Yudi Latief, bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, melainkan kehilangan harga diri, yang membuat para abdi negara lebih rela menjadi pelayan cukong ketimbang pelayan rakyat.

Keteladanan
Kita tentu mengharapkan agar para pejabat publik mestinya memiliki semangat keteladanan dan kepeloporan. Semangat ini adalah virus psikologis sebagai energi dan daya dorong bagi pembaharuan.

Dengan semangat keteladanan dan kepeloporan, para elite senantiasa berjalan di garda ke depan dan berani mengambil prakarsa bagi perubahan menuju masyarakat yang lebih bersih, maju, dan berkeadilan.

Sebab, semangat keteladanan dan kepeloporan hakikatnya adalah etik kejuangan untuk menegakkan kebenaran dan fitrah kemanusiaan.

Bak seorang tabib, sejarah keteladanan dan kepeloporan yang disumbangkan the founding father pada masanya berani dan mampu menawarkan terapi bagi masyaratnya yang tertindas. Mereka berhadapan dengan kekuatan dominasi dan penindasan kolonial.
Nah, pelajaran itulah yang sepatutnya diambil oleh generasi kita hari ini dan dikontekstualisasikan dengan kondisi tantangan zaman.

Kalau generasi kita tak berusaha meneladaninya, maka hukum sejarah akan menempatkan kita sebagai generasi yang hilang. Sebab, semangat keteladanan dan kepeloporan akan memunculkan etik kejuangan baru untuk mengkritisi situasi melawan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Pada tataran yang lebih praktis, etik kejuangan itu akan menjadi lokomotif untuk memperjuangkan dan membangun tatanan politik yang terbuka, egaliter, dan demokratis. Sebuah bangunan politik yang memungkinkan setiap masyarakat pelaku politik untuk menampilkan hak dan kewajiban politiknya secara wajar, proporsional, dan maksimal.

Tatanan politik yang secara sadar tak mengakui dominasi politik atas dasar tekanan, melainkan tumbuhnya interaksi politik atas landasan kesetaraaan, semangat partisipatoris dan emansipatoris.

Di era sekarang, menjadi pejabat publik tidak sekadar soal popularitas dan pencitraan. Lebih dari itu adalah mental pribadi yang bersih dan kemampuan kualitatif yang tercermin dalam visi yang terang dan konsep yang matang.

Citra tanpa bukti kinerja akan melahirkan kekecewaan dan apatisme publik. Padahal, seperti kata Robert Maynard Hutchins, “Kematian demokrasi bukanlah karena tikaman oleh penyerangan, melainkan suatu kepunahan secara perlahan oleh apati, ketidakhirauan, dan kekuranggizian.”

*) Penulis adalah Dewan Redaksi Galaksi dan Pegiat Tekka’ Hajat Foundation

- Advertisement -
Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan