galaksi.id— (Sumenep). Besok, 09 Desember 2020, tinggal sehari saja dari sekarang, Kabupaten Sumenep akan menyelenggarakan Pesta Demokrasi 5 (lima) tahunan berupa Pemilukada untuk memilih Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, dimana akan ditentukan siapa yang akan menang dari 2 calon yang ada. FJ-Ali Fikri, ataukah Fauzi-Eva.
Atau, jangan-jangan, kedua-keduanya tidak akan ada yang menang melawan figur GOLPUT. Ya bisa jadi, gaes. Kenapa tidak. Yang menang malah Golput.
Hari ini merupakan detik-detik yang sangat mendebarkan. Soalnya pemungutan suara sudah akan dilakukan besok. Tinggal sehari saja. Akan tetapi sayang sekali, keluh kesah di berbagai obrolan, baik obrolan warung kopi, kafe, dan medsos mengenai momen ini sungguh mencengangkan. Momen ini nyaris tak menggambarkan adanya suasana kegembiraan dibatin warga pemilih bagaimana layaknya kalau orang akan menyambut hadirnya pesta sebagaimana Pemilukada yang jamak dipahami sebagai Pesta Demokrasi.
Kecuali tim yang memang ditugasi ngurusi IT, warga Dumai (Medsos) hampir semuanya mengeluh. Tak ada hal-hal menarik yang terjadi. Kiprah dan sepak terjang para buzzer dan infuencer yang sengaja disewa mengenai jago-jago tertentu, nyaris tak memperoleh tanggapan serius dari nitizen. Dalam kehidupan yang nyata lebih parah lagi. Nyaris tak ada lalu lintas dan mobilitas isu dan orang yang khusus untuk menyebar propaganda, agitasi dan ajakan-ajakan untuk mendukung suksesnya Pemilukada tahun ini.
Intinya, Pemilukada tahun ini apabila dibandingkan dengan Pemilukada pada pereode sebelumnya, nyaris tidak berarti apa-apa. Tidak ada seujung kukunya. Tidak ada gebyar apa-apa. Tidak mencerminkan akan adanya momen menggembirakan. Semuanya hanya dingin-dingin saja.
Kenapa warga dingin dan acuh? Tak menarik. Yach, Pemilukada tahun ini sama sekali tak menarik. Tak pernah jelas apa alasannya akan tetapi meski tak terjelaskan secara kongkrit tapi tidak berarti tidak memiliki alasan. Semua pasti ada alasannya akan tetapi mereka memiliki keterbatasan menuangkannya dalam bentuk tulisan karena Warga pemilih tidak seperti wartawan, praktisi dan akademisi yang pandai menulis. Tapi sikap apatisme warga seharusnya telah mampu mengusik sensitifitas dan nalar fikir kaum terpelajar untuk memaknainya.
Saya sendiri, meskipun cukup terpelajar, akan tetapi tidak mampu menguraikannya secara rigid dan detail. Bagi saya, setidaknya ada 2 (dua) kemungkinan kenapa Pemilukada tahun ini tampak tidak menarik. Pertama, bisa jadi karena Penyelenggaranya, dan kedua, bisa jadi pula, karena Paslonnya yang memang tidak bermutu Alias tidak layak jual;
KPU GAGAL TANAMKAN PENDIDIKAN POLITIK RAKYAT (Civic Education)
Apa kaitannya Penyelenggara dengan suasana yang sunyi-senyap ini? Ada. Tugas Penyelenggara itu antara lain bagaimana Pemilukada terselenggara dengan baik, ditandai dengan tingginya partisipasi pemilih, menghasilkan calon terpilih yang benar dihasilkan dari pilihan pemilih.
Dalam arti begini. Seumpama Pemilukada berhasil dilaksanakan, meskipun telah menghasilkan Paslon terpilih, akan tetapi bila partisipasi pemilihnya sangat rendah, maka Penyelenggara gagal. Demikian pula meskipun partisipasi pemilihnya tinggi, akan tetapi ternyata pemilihnya ternyata Pemilih Fiktif, itu juga bermakna gagal.
Bertitik tolak dari illustrasi di atas, maka sunyi senyap suasana Sumenep menjelang Pemilukada, tentu karena Penyelenggara tidak mampu men-direct bagaimana Pemilukada bisa membangkitkan ghairah rakyat. Artinya, sunyi-senyap ini disebabkan karena tidak adanya gairah rakyat untuk mengambil peranan dalam panggung pesta ini.
Dengan kata lain, Penyelanggara telah gagal menanamkan pendidikan politik, baik disegmen Pemilih maupun ditingkat peserta Pemilukada. Pemilukada, tidak lagi tergambar sebagai momen penting dan menentukan bagi baik tidaknya dan maju tidaknya Sumenep di masa depan.
Bisakah ini terjadi pada KPU. Ya bisa jadi. Bagi KPU, bisa saja hanya menganggap Pemilukada hanya sekadar momen masuknya rangkaian banyak kegiatan yang hanya bisa mendatangkan penghasilan bagi mereka. Tidak ada lagi sentuhan filosofi mengapa Pemilukada harus dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun. Tidak ada lagi penjelasan mengapa Pemilukada harus berkualitas.
Masih untung, Bawaslu tidak seburuk KPU. Institusi ini merupakan satu-satunya lembaga yang menaruh perhatian bagaimana seharusnya Pemilukada ini berkualitas. Bawaslu sempat melancarkan serangan keras kepada KPU tentang Coklit. Yach, Demi dan untuk atas nama Pemilukada yang berkualitas Bawaslu sempat berseteru dengan KPU mengenai akurasi data pemilih yang dikerjakan KPU/PPS.
PASANGAN CALON HANYA TONG KOSONG
Selain bisa jadi karena disebabkan penyelenggaranya yang minus keterampilan sebagaimana diurai di atas, sunyi-senyap Sumenep menjelang Pemilukada ini bisa jadi juga disebabkan Paslonnya. Lho, kok bisa? Ya bisalah. Paslon yang Tong Kosong Berbunyi Nyaring, apalagi kalau Paslonnya hanya merupakan Badut-Badut Politik. Ya tidak menariklah. Emoh lah,,,!!!.
Sumenep ini merupakan kota berkebudayaan yang warganya memiliki harga diri tinggi. Kota yang menyimpan sejarah-sejarah besar sebagai bekas kerajaan, memiliki dan melahirkan tokoh-tokoh besar. Jadi, mana mungkin warga Sumenep mau punya bupati badut? Ya tidak mungkinlah. Sekali lagi, tidak mungkin.
Khusus untuk yang disebut terakhir ini, apakah mungkin ada Paslon Badut disumenep pada Pilkada tahun ini? Bisa jadi ada. Tinggal ditelisik satu persatu dari Paslon yang sudah ada.
Ada yang hanya mantan pejabat ditingkat Propinsi, itupun bukan pejabat puncak, akan tetapi sombongnya selangit. Kesombongannya antara lain tampak dalam 2 (dua) pernyataannya berikut :
- PKB epengkot (bahasa Madura. Artinya, dalam Indonesianya, “PKB telah dibuat tidak berdaya).
Perkataan tersebut, apabila cermati lagi dari cara menyampaikan dan dari mimik wajahnya ketika mengucapkannya, yang kesemuanya terekam dalam suatu video, sudah barang tentu akan membuat si pendengar dan yang melihat akan naik pitam. Karena pernyataan ini sangat merendahkan PKB yang nota bene merupakan partai besar yang didirikan oleh Ulama-ulama besar. Bayangkan, partai besar yang dirikan oleh ulama besar, berani direndahkan seperti ini. Siapa yang takkan sakit hati?
Masih untung PKB merupakan Partai yang berbasis warga NU. Mengerti apa itu arti mengalah, bersabar dan memaa’afkan sebagaimana diajarkan dalam doktrin-doktrin agama mereka dan dari ajaran ulama-ulama mereka. Tapi jangan dikira hanya karena PKB telah memberikan rekomendasi, lalu calon ini yakin warga NU akan mendukung dirinya. Saya yakin warga NU tidak akan memilih yang bersangkutan. Sombongnya tidak ketulungan.
- Mengatai Warga Pulau dengan sebutan Tarzan;
Siapapun tau bahwa Tarzan adalah simbol dari manusia bodoh yang hidup dihutan belantara. Maka, mengatakan penghuni pulau sebagai Tarzan, tentu maknanya menghina. Bila tak bermaksud menghina, maka inilah kebodohan calon ini. Tak mampu memproduksi kata-kata sopan yang sepatutnya dimiliki oleh warga Sumenep.
Dari segi substansi politik, pernyataan-pernyataan kontroversial Calon mencerminkan adanya kelainan kejiwaan. Lha, dia pada posisi membutuhkan dukungan, tapi yang diharap dukungannya tersebut malah dihina. PKB dibilang epengkot, warga pulau dikatai Tarzan. Masih berharap dapat dipilih dari kelompok ini? Kalau saya sich yakin, warga pulau, khususnya yang dikatai Tarzan, tidak bakalan memilih diri calon ini.
Jadi, calon ini, bila tidak ada kelainan kejiwaan, ya sangat mungkin bodohnya tidak ketulungan. Bodoh tapi merasa sombong. Hanya beginikah calon ini? Lalu saya disuruh memilihnya jadi pemimpin saya? Kalau saya sich akan bilang: NO,,,!!!.
Paslon yang satunya???. Sama saja. Apa Istimewanya? Yang tampak dan tersirat daripadanya hanyalah jualan pengaruh pamannya yang sedang menduduki Anggota Parlemen di Senayan. Paman yang kaya raya serta memiliki pengaruh kuat terhadap birokrasi pemerintahan di Kabupaten Sumenep dan berpengaruh terhadap jaringan Kepala Desa.
Tapi hampir semua orang lupa, orang Sumenep memiliki harga diri yang sangat tinggi. Toch terbukti Sang Paman, meskipun terpilih menjadi anggota DPR-RI, suaranya tidak dominan berasal dari Sumenep. Melainkan dari Bangkalan. Itu artinya, Sang Paman juga tidak seberapa laku dijual di kabupaten ini.
Inikah calon bupati yang berani menjanjikan masa depan? Tapi eittts,,, !!! Ada baiknya juga sich calon ini menyombongkan diri. Masih ada yang diandalkan. Daripada bodoh, lemah dan tidak punya kekuatan, tapi malah bersombong ria.
Tapi bagaimanapun, kalau saya disuruh pilih bupati yang seperti ini sich, saya juga akan bilang: NO,,,!!! Sekali lagi, “NO,,,!!!”;
BAGAIMANA SOLUSINYA??? GOLPUT???
Bila Paslon A Sombong dan suka menghina, watak ini potensial akan melahirkan sikap pemerintahan yang arogan dan otoritarian di masa depan, sedangkan calon B juga tidak bisa diharapkan karena hanya merupakan calon boneka, lalu bagaimana solusinya?.
Ah,,, kalau mengenai ini saya juga bingung. Tapi pikiran bodoh ini menawarkan 2 (dua) pilihan solusi, yaitu: (1) Pilih Yang Terbaik dari Yang Terburuk, dan (2) GOLPUT.
Bagaimana pula ini? Pilih Yang Terbaik dari yang TERBURUK? Bagaimana mungkin? Ya mungkin saja. Sama saja dengan kalau kita diberi pilihan, pakai celana A atau celana B. Maka ketidakcocokan terhadap A dan B, tidak menyebabkan kita tidak memilih salah satu. Harus tetap memilih. Sebab jika tidak memilih salah satu, maka kita bertelanjang. Maukah kita telanjang? Tentu jawabnya: Tidak,,,!!! Nah, itulah makna yang terkandung pada kata “Pilih Yang Terbaik dari Yang Terburuk”.
Persoalannya, bagaimana mengukur mana Paslon yang terbaik dari yang terburuk,,,??? Repot juga kita membuat ukurannya. Tapi ada beberapa ukuran Standart yang barangkali relevan untuk menentukan pilihan. Jadi, setiap pilihan perlu ada hitungannya. Jika tak jelas hitungannya, kata Millenial, termasuk pemilih yang tidak cerdas. Yang ekstrim, salah pilih berarti menanam saham atas suatu dosa. Mau? Ya janganlah, gaesss!!!.
Lalu, apa parameter standartnya untuk mengukur Paslon A atau B yang terbaik? Terlalu panjang untuk dibahas pada edisi ini. Akan dibuat bersambung pada edisi berikutnya. Tunggu saja ya, gaes,,,!!! Haaa,,, haaa,,,!!!.
Lalu kenapa Golput juga masuk solusi? Apa manfaatnya, toch nantinya pasti ada Paslon Terpilih??? Kita juga bisa menjawabnya, “Lho juga. Tidak apa-apa ada Paslon terpilih. Toch meskipun Terpilih, dia akan malu karena jumlah suaranya masih kalah dengan jumlah suara golput”. Artinya, yang bersangkutan tidak dikehendaki oleh mayoritas pemilih alias tidak legitimate”.
Bagaimana kalau ternyata yang terpilih tidak tau malu? Ya biarin aja. Toch kita tau mereka itu gila. Bagaimana kalau mereka membangun kroni dan menggasak uang rakyat secara tidak kaprah? Ya ada jalan lain. Kita pun perlu bersikap gila-gilaan. Turunkan mereka ditengah jalan. Habis sudah urusan.
Bagaimana kalau golput tapi ternyata ada yang mencobloskan untuk calon tertentu sehingga memberi kesan Si Calon benar-benar Terpilih?.
Nah, ini saya bingung juga. Tapi tak ada salahnya kita awasi,,,!!! Kita perlu kompak untuk mengecek Daftar Pengguna Hak Suara sebelum Surat Suara dihitung dan dibacakan. Siapa yang akan memimpin gerakan ini? Setiap kita adalah pemimpin. Yach, pemimpin untuk diri kita sendiri agar tidak dicurangi dan diakali oleh Syetan yang menyerupai manusia.
Khusus pembahasan Golput dalam perspektif hukum dan politik juga akan dibahas secara panjang lebar pada edisi berikutnya.
Jadi, para gaes yang ingin mengetahui bagaimana menghitung plus-minus dari calon yang ada, apakah Fauzi-Eva, ataukah FJ-Ali Fikri, ditunggu saja ya gaesss!!!.
Demikian pula yang menunggu pembahasan Golput dari berbagai perspektif, juga dapat ditunggu kehadirannya pada pembahasan berikutnya.
Salam Damai,,,
Salam Golput;
(Artikel ini sebelumnya sudah pernah tayang oleh cakkur.id, 02 November 2020. Artikel sengaja dibuat sebagai Edisi Lanjutan dari Opini sebelumnya berjudul: ONANI POLITIK; PILKADA ANTARA PESTA, SYUKURAN dan KIBUL-KIBUL, tanggal 02 November 2020, disunting pula oleh Jurnalfaktual.id dan madurapost.net)