HERMAN DJAYA SI MAFIA TANAH AKHIRNYA TUMBANG

Inthost
By Inthost
12 Min Read

PART-3

LAPORAN HERMAN DJAYA MENTAH DAN DIMENTAHKAN

Oleh: Kurniadi

OPINI– Dalam part-1 dan part-2 sebelumnya telah dikisahkan kalau Herman Djaya pada tahun 2010 memperoleh tanah Sertipikat Hak Pakai No.125/Kebon Kacang dari figur palsu bernama Buce Herlambang. Hal ini terbukti dengan adanya putusan pidana No.: 1310/Pid.B/2012/PN.Jkt.Pst, tanggal 27 Februari 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap, dimana Buce tersebut dijatuhi hukuman penjara.

Selain itu, sebelum perkara tersebut disidangkan di Pengadilan, Herman Djaya di sepanjang tahun 2012 telah ikut diperiksa dan dimintai keterangannya oleh penyidik terkait kepemilikan tanahnya yang diperoleh dari Buce Herlambang tersebut. Bahkan, tanggal 05 Januari 2012, sempat dilakukan konfrontir dengan Aziz Wellang. Artinya, Herman Djaya telah mengetahui kalau pihak yang berhubungan dengannya itu, yang meminjam uang dengan jaminan sertifikat, merupakan figur palsu alias Aziz Wellang PALSU.

Kendati demikian, tidak sampai 1 bulan dari adanya putusan pengadilan tersebut, Herman Djaya masih melaporkan Aziz Wellang ke Polda Metro Jaya pada tanggal 07 Mei 2013 dengan alasan penipuan/penggelapan Pasal 378/372 KUHP. Dalam arti, Aziz Wellang masih dianggap menipu lantaran setelah meminjam uang dengan jaminan tanah akan tetapi ternyata selain tidak membayar Aziz Wellang juga tidak mau menyerahkan tanah miliknya kepada Herman Djaya.

Bagi orang yang berfikir, tentu saja pelaporan oleh Herman Djaya itu aneh sebab Herman Djaya sudah tau kalau pihak yang menipunya itu adalah Buce Herlambang yang menyamar sebagai Aziz Wellang dengan menggunakan dokumen identitas Palsu, yaitu KTP,KK, dan Kutipan Akta Nikah Palsu. Tapi kenapa laporannya kok masih ditujukan ke Aziz Wellang seolah-olah Aziz Wellang yang melakukannya?

Lebih aneh lagi, Polda Metro Jaya pada tanggal 05 Desember 2014 menetapkan Aziz Wellang sebagai Tersangka, dan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 01 Oktober 2015 menyatakan Berkas Perkara Aziz sudah lengkap alias P-21 sehingga tinggal menunggup tahap-2 untuk disidangkan di pengadilan.

Aziz Wellang sungguh malang. Selain jadi Tersangka di Polda Metro Jaya, Aziz juga dikalahkan oleh Herman Djaya dalam perkara perdatanya di pengadilan Negeri Jakarta Pusat dimana Aziz diperintahkan pengadilan untuk menyerahkan tanah miliknya kepada Herman Djaya, sebagaimana ternyata dalam Putusan Nomor: 247/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst, tanggal 19 Agustus 2014, Jo. Putusan No. 451/PDT/2015/PT.DKI, tanggal 19 Oktober 2015, Jo. Putusan No. 2870 K/Pdt/2016, tanggal 14 Desember 2017.

Selain itu lagi, Aziz Wellang juga dikalahkan oleh Herman Djaya dalam sengketa adminitrasi di PTUN Jakarta, dimana sertifikat tanah milik Aziz Wellang dinyatakan batal dan diperintahkan pencabutannya oleh pengadilan kepada Kantor Pertanahan Kota Adminitrasi Jakarta Pusat, sebagaimana dalam Putusan Nomor: 254/G/2017/PTUN.Jkt, tanggal 03 Mei 2017, Jo. Putusan No. 199/B/2018/PT.TUN.JKT, tanggal 21 September 2018, Jo. Putusan No. 128 K/TUN/2019, tanggal 04 April 2019.

Dibawah fakta kemenangan-kemenangan itu, Herman Djaya tampil gagah mempesona. Sebab, sebelumnya, laporan Aziz Wellang di Polda Metro Jaya, yaitu Laporan Polisi Nomor: LP/78/I/PMJ/2012/Dit.Reskrim-Um, tanggal 09 Januari 2012, sama sekali juga tidak jalan sampai sekarang.

Selain itu, gugatan Aziz Wellang di PTUN Jakarta, yaitu Perkara Nomor : 176/G/2010/PTUN.JKT, tanggal 29 Maret 2011, Aziz dikalahkan. Artinya, sertifikat milik Herman Djaya tetap sah.

Namun benar kata doktrin kuno. “Kejahatan memang akan selangkah lebih maju dari kebenaran akan tetapi pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang“. Begitulah kenyataan yang selanjutnya menimpa kepada Herman Djaya. Situasi berbalik satu demi satu. Herman Djaya yang semula gagah perkasa perlahan-lahan berubah seperti jadi pengemis. Mulai dari mengaku sudah kakek-kakek yang tak berdaya, hingga mengadu ke Menko Polhukam.

Intinya, yang dilakukan Herman selanjutnya hanya mengandalkan usianya yang sudah renta sehingga butuh dikasihani dan advokasi publik karena berbagai capaian kemenangan yang pernah diperolehnya lenyap satu persatu. Aziz Wellang yang semula Tersangka, ternyata kemudian dihentikan Penuntutannya oleh Jaksa pada tanggal 23 Agustus 2017.

Selain itu, putusan perdata yang sebelumnya dimenangkannya, disaingi oleh adanya putusan lain, yaitu Putusan Nomor: 596/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst, tanggal 13 September 2018 (08 November 2017), Jo. Putusan No. 74/PDT/2019/PT DKI, tanggal 25 April 2019, Jo. Putusan No. 466 K/PDT/2020, tanggal 02 Juni 2020, dimana Aziz Wellang dinyatakan sebagai pihak yang berhak atas tanah tersebut.

Selain itu lagi, putusan perdata yang sebelumnya dimenangkan Herman, kemudian dibatalkan dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK), yaitu dengan Putusan Nomor: 294 PK/PDT/2020, tanggal 18 Februari 2021. Selain itu pula, kemenangan Herman di PTUN kemudian juga dibatalkan dalam tingkat Peninjauan Kembali ke-2, yaitu dengan Putusan Nomor: No. 129 PK/TUN/2020, tanggal 27 Desember 2022.

Yang lebih tragis, Herman Djaya bahkan dijatuhi pidana yaitu dengan Putusan Nomor: 293/Pid.B/2017/PN.Jkt.Pst, tanggal 26 September 2017, Jo. Putusan No. 322/PID/2017/PT.DKI, tanggal 15 Januari 2018, Jo. Putusan No. 271 K/PID/2018, tanggal 06 Juni 2018, an. Terdakwa Herman Djaya, karena Herman Djaya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana memakai surat-surat yang diketahuinya palsu akan tetapi tetap dipakai untuk mengalahkan Aziz Wellang di pengadilan perdata.

KENAPA HERMAN DJAYA HARUS TUMBANG?

Dalam uraian sebelumnya telah dikisahkan bahwa pasca Herman Djaya terus menerus dikalahkan oleh Aziz Wellang, hingga tidak ada 1 pun perkara yang sebelumnya dimenangkannya yang tersisa karena semuanya telah habis dibatalkan oleh pengadilan, Herman Djaya koar sana dan koar sini menyatakan Aziz Wellang mafia hukum. Dalam arti, kemenangan Aziz karena menyuap Aparat penegak Hukum (APH).

Benarkah demikian? Apakah setiap perkara yang dimenangkan pasti karena uang? Bila iya, bukankah Herman Djaya telah melakukan praktek terkutuk itu terlebih dulu karena sebelumnya semua perkaranya dimenangkan Herman Djaya???

Ah, sudahlah. Perkataan Herman tak perlu diambil hati. Biasa. Perkataan tua renta memang begitu. Pikun. Anggap saja perkataan Herman merupakan cermin dari situasi kebatinannya yang sedang frustasi. Sebab bila tidak, itu hanya mengartikan kalau Herman Djaya sudah jatuh bangkrut sebangkrut-bangkrutnya alias sudah kehabisan uang sehingga tidak dapat lagi menyuap APH.

Untuk memperjelas situasi, saya hanya akan menjelaskan kenapa perkara Aziz Wellang dihentikan Penuntutannya oleh Jaksa. Alasannya tidak cukup bukti. Kenapa? Karena sebagaimana diceritakan pada bagian sebelumnya Herman memperoleh tanah itu dari Figur Palsu, yaitu Buce Herlambang. Artinya, yang datang kepada Herman Djaya untuk meminjam uang dengan jaminan sertifikat itu adalah Buce itu. Bukan Aziz Wellang.

Atas dasar fakta itu, kenapa yang dilaporkan Herman Djaya kok Aziz Wellang? Kok bukan Buce Herlambang? Padahal Herman Djaya sendiri telah mengetahui kalau pihak yang meminjam uang kepadanya itu Buce Herlambang. Sekali lagi: Buce Herlambang.

Oleh karena itu, karena pelaku yang meminjam uang bukan Aziz Wellang, bukankah sudah sewajibnya apabila Jaksa berhenti menuntut Aziz Wellang??? Sebab kalau jaksa masih menuntut bukankah giliran jaksa yang akan jadi tertuduh terima suap dari Herman???.

Jadi, Aziz Wellang beruntung karena di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat masih ada jaksa yang lurus karena tidak terima suap dari Herman Djaya.

Selain itu, kenapa Herman Djaya harus dijatuhi pidana? Bukankah katanya Herman Djaya itu korban? Kok malah didudukkan sebagai Terdakwa sehingga sekarang harus menyandang status Residivis yaitu mantan Narapidana (Napi).

Penjelasannya begini. Seperti telah diurai sebelumnya, Herman Djaya telah mengetahui kalau pihak yang menandatangi akta-akta yang berkaitan dengan tanah itu adalah figur palsu, yaitu Buce Herlambang. Akta-akta yang ditanda tangani itu antara lain: (i) Akta Pengakuan Hutang No. 15, (ii) Akta Kuasa Menjual No. 16, dan (iii) Akta Pengikatan Jual Beli No. 17, semuanya tertanggal 11 Januari 2010 dibuat oleh Notaris bernama H. Harjono Moekiran.

Celakanya, setelah mengetahui kalau yang menandatangi akta-akta itu adalah figur palsu akan tetapi Herman Djaya tersebut malah menjadikan akta-akta tersebut untuk membaliknama kepemilikan tanah dengan membuat Akta Jual Beli No. 62/2010 , tanggal 18 Agustus 2010, yang dibuat oleh Notaris/PPAT Refizal., SH., Herman Djaya bertindak sebagai Penjual dan sekaligus sebagai Pembeli, yang selanjutnya melakukan baliknama sertifikat ke Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta.

Tidak itu saja, dengan akta-akta itu pula Herman Djaya melaporkan Aziz Wellang ke polisi padahal dia sendiri tau kalau yang menandatangi akta-akta itu bukan Aziz Wellang. Bahkan, tidak pernah kenal dan tidak bertemu dengan Herman Djaya. Bahkan lagi, dengan akta-akta itu pula Herman Djaya menggugat Aziz Wellang dalam perkara perdata yang telah diceritakan sebelumnya, yaitu putusan yang dimenangkan Herman Djaya.

Atas dasar fakta itu, karena Herman Djaya telah mengetahui kalau akta-akta yang ditandatanganinya bersama dengan Figur Palsu tersebut merupakan surat palsu, atau surat yang isinya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, akan tetapi tetap digunakan dalam perkara perdatanya untuk memenangkan perkara, maka sudah tepat dan sudah beralasan secara hukum apabila Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selanjutnya menjauhkan pidana kepada Herman Djaya.

Selain itu, ketidakpuasan Herman atas putusan itu, Herman juga telah mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan itu akan tetapi tetap ditolak oleh Mahkamah Agung, yaitu dengan Putusan Nomor: 26 PK/Pid/2020, tanggal 08 Juli 2020.

Jadi, saran saya, sebaiknya Herman berhenti teriak-teriak APH disuap oleh Aziz Wellang, sebab selain potensi dilaporkan lagi Aziz Wellang, Herman juga potensi dinilai gila oleh publik Indonesia. Sekali lagi: GILA.

Jakarta, 16 Maret 2012.

Catatan Redaksi: Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab Penulis.

- Advertisement -
Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan