galaksi.id— Kasus penembakan Polisi terhadap 6 (enam) laskar FPI pada Senin (07/12/2020) di Tol Jakarta-Cikampek km 50, merupakan kasus yang paling menyita perhatian publik untuk masa ini. Dipihak polisi, atas nama membela diri karena serang oleh FPI, polisi membalasnya dengan menembak mati laskar FPI. Sedangkan dipihak FPI, jangankan menembak, pentungan saja mereka tak punya.
Perbedaan substantif mengenai kronologi kejadian antara yang disampaikan polisi maupun FPI inilah yang memaksa akal pikir publik untuk mempercayai mana keterangan yang benar dan masuk akal dari kedua belah pihak tersebut. Keterangan FPI, ataukah Polisi?
Pertarungan opini mengenai siapa yang benar dalam kasus ini, tampaknya sangat dominan dimenangkan oleh FPI. Menurut Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa – Dosen FAK Syariah DAN Hukum UIN Jakarta), FPI menang 3-0 atas polisi. Berikut alasannya:
Pertama, FPI lebih cepat membuat pernyataan. Sekitar jam 12.00 WIB, FPI mengumumkan bahwa ada enam anggota laskarnya diculik oleh Orang Tak Dikenal (OTK) di tol Kerawang-Cikampek. Dan belum ditemukan.
Jelang beberapa jam kemudian, Kapolda Metro Jaya konferensi pers bahwa ada enam anggota FPI ditembak karena menyerang polisi. Dari keterangan pers pihak kepolisian inilah FPI baru tahu bahwa OTK yang berpakaian preman dan tanpa identitas itu ternyata adalah aparat kepolisian.
Tapi, publik sudah terlanjur punya memori bahwa enam orang itu diculik, lalu belakangan diketahui ternyata mereka sudah ditembak mati. Meski sebagian tetap bertanya: ini mana yang bener? Diculik lalu ditembak? Atau menyerang, lalu ditembak? Kalau ada baku tembak, dimana TKP-nya? Biasanya polisi punya bukti setidaknya foto atau video kejadian. Ini kok gak ada? Sekali lagi, ini dipengaruhi siapa yang lebih cepat memberi informasi.
Kedua, pernyataan FPI yang beredar dan viral di medsos lebih detail dalam menjelaskan kronologi peristiwa penembakan tersebut. Data pelaku, rekaman percakapan, lokasi, plat nomor mobil dan kronologinya secara detail diungkapkan dalam empat halaman yang secara resmi diedarkan oleh DPP FPI. Soal ini, polisi kalah detail.
Ketiga, informasi dari FPI konsisten dan tidak mengalami perubahan. Sumbernya satu: dari DPP FPI. Berbagai pernyataan baik dalam konferensi pers, wawancara TV dan keterangan dalam surat resmi yang beredar sama.
Sementara informasi dari pihak kepolisian mengalami perkembangan. Konferensi pers Kapolda Metro Jaya mengungkapkan bahwa ada penyerangan dari pihak FPI kepada aparat. Merasa terancam, aparat lalu menembak enam laskar itu hingga mati.
Selang sehari muncul informasi bahwa Laskar FPI merebut Senpi milik polisi. Informasi berikutnya para pelaku penembakan sudah diserahkan ke Propam Polda Metro Jaya. Diduga ada salah prosedur.
Tiga poin ini menurut Tony Rosyid, membuat informasi FPI lebih mendapatkan apresiasi dari publik dibanding terhadap pihak kepolisian. Meski ada karangan bunga ke Polda dan muncul pernyataan ormas di DKI sebagai bentuk dukungan, namun tetap kalah masif dengan apresiasi publik ke FPI di media, terutama medsos.
Apapun opini dan persepsi yang berkembang ke publik, satu saja harapan rakyat bahwa kebenaran harus diungkap. Kasus ini mesti terang benderang sehingga rakyat punya informasi yang benar. Yang lebih penting dari ini semua adalah tegaknya hukum di negara hukum.
Karena itu, perlu pihak ketiga. Yaitu Tim Pencari Fakta atau TPF. Kalangan profesional yang punya independensi, integritas dan kapasitas perlu dilibatkan dalam TPF ini. Tak ada cara lain, kecuali negara ini membentuk TPF. Dari TPF, rakyat menunggu kasus kematian enam anggota FPI ini dibongkar seterang-terangnya, sehingga gak liar informasinya.
Sementara itu, pakar hukum SP. Wibowo, dosen Universitas 17 Agustus Surabaya (Untag), meyakini bahwa Polisi akan terus melakukan rekayasa hukum. Terakhir, menurut SP.Wibowo, Polisi akan membuat kambing hitam. Siapa yang akan dikambinghitamkan, serta untuk tujuan apa, berikut pernyataan SP. Wibowo:
“Kambing itu itu bisa dari polisi pelaksana/yg membantai atau dari pihak lain. Tujuannya: menutup malu pimpinan Polri dan atasannya (Presiden) dg harapan peristiwa itu tidak menggangu stabilitas Pemerintahan.
Jadi, perlu korban yg dipredikati sbg Kambing Hitam. Dunia internasional juga bermain disini. Untuk apa? Ya intinya untuk kepentingan ekonomi pastinya”.
Analisis Tony Rosyid, berikut SP. Wibowo, sebetulnya merupakan kesimpulan mengenai adanya dugaan bahwa polisi memang sudah merekaya kasus ini. Hal yang masuk akal mengingat polisi jauh sebelumnya memang terlihat sangat bernafsu dengan penuh kebencian terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan FPI-nya. (Kurniadi)