Tafsir Gaduh terhadap Mimpi Melihat Nabi

Jailangkung
6 Min Read

Barang siapa yang melihatku dalam tidurnya (bermimpi), maka yang dilihat itu adalah benar karena syaitan tidak dapat menyerupai rupaku”. (Al-Hadist).

Teks Hadits ini dalam bahasa arabnya terdiri dari 3 versi, akan tetapi maknanya sama. Tidak ada ikhtilaf (tidak ada perbedaan pendapat) diantara ulama mengenai kebenaran hadist ini, semua seragam mengatakan: shoheh. Tidak diragukan kebenarannya.

Akan tetapi pada tingkat pengujian terhadap kebenaran pengabarannya, terdapat ikhtilaf, atau terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Artinya, klaim pengakuan mimpi melihat Nabi Muhammad SAW, pengujian kebenarannya haruslah didasarkan pada kreteria-kreteria tertentu;

Kreteria-kreteria pengujiannya, menurut ulasan Syaich Abdul Ghani Al-Maqdisi, Ulama Ahli Hadist yang lahir pada tahun 514 H, menceritakan terdapat 2 (dua) golongan ulama yang satu sama lain tidak sama pendapatnya (ikhtilaf), antara lain sebagai berikut:

Pertama; Mimpi itu benar kalau yang dilihat adalah rupa asli nabi. Bahasa Arabnya kira-kira: “Idza Roahu Shallallahu Alaihi Wassalam Fi Shurotihi Al-Lati Kana ‘Alaiha”. Baik wajah nabi ketika diusia muda ataupun diusia dewasa.

Kedua; Mimpi itu benar kalau rupa yang dilihat merupakan rupa nabi ketika wafat. Bahasa arabnya kira-kira: “Idza Roahu Shallallahu Alaihi Wassalam Fi Shurotihi Al-Lati Qubidha ‘Alaiha”.

Kedua kreteria tersebut mengandung arti, setiap pengakuan bermimpi bertemu nabi, maka pengujiannya haruslah di seputar wajah dan rupa Nabi. Artinya, si Pengaku harus mampu menggambarkan mengenai ini. Kalau tidak jelas, pengakuan mimpinya tidak benar.

Selain itu, terdapat ciri-ciri kebenaran mimpi bertemu nabi, juga dibahas oleh Abdul Aziz Ahmad bin Abdul Aziz, dalam kitabnya yang berjudul “Ra’aytun Nabiyya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: Mi’atu Qishshatin min Ru’an Nabiy”. Menurut Abdul Aziz, ciri untuk memastikan mimpi bertemu nabi, haruslah pasti kalau figur yang muncul dalam mimpi tersebut haruslah mengaku dirinya Nabi. Kedua, figur itu harus terlihat Agung, dan ketiga, figur tersebut haruslah terlihat sangat dihormati.

Belum terdapat penjelasan dan ajaran terkait bagaimana kita harus bersikap terhadap orang yang mengaku bermimpi melihat nabi yang pengakuannya tersebut diduga tidak benar.

Ulama yang tidak percaya dengan pengakuan mimpi bertemu nabi, ulama hanya menanggapinya dengan perkataan: “yang kamu lihat bukan nabi”. Tidak terdapat cerita yang sifatnya membully, mengejek dan mencemooh, apalagi mau menghukum pidana bagi Si pelaku. Tidak percaya, ya cukup mengatakan begitu: “Yang anda lihat dalam mimpi bukan nabi”. Titik.

Belakangan, ketika saya masih nyantri di pondok pesantren, saya pun pernah memperoleh penjelasan bahwa mimpi melihat nabi baru dapat dipercaya kalau figur yang dilihat dalam mimpinya tersebut Memiliki perangai seperti sifat-sifat yang telah diketahui umum. Artinya, kalau yang dilihat dalam mimpi memberi kesan sadis, tidak sopan, dan sombong, maka dipastikan mimpi yang diceritakan palsu.

Lalu, bagaimana dengan pengakuan Haikal Hassan yang mengaku pernah bermimpi melihat nabi? Kenapa Republik menjadi gaduh? Dan bahkan dilaporkan ke polisi oleh Husin Shihab, dan bahkan juga dinyatakan sesat oleh Gus Rofi’i?

Menurut keduanya, pengakuan Haikal Hassan dianggap sebagai pengakuan palsu karena pengakuan tersebut diyakini dihubungkan dengan adanya niat Haikal untuk mengobarkan semangat permusuhan ummat dengan negara.

Bahkan, Gus Rofi’i dalam suatu wawancara mendasarkan tuduhan sesat atas mimpi Haikal Hasal dengan memakai kaedah ushul fiqh, yaitu karena pengakuannya tersebut dapat menyebabkan resah masyarakat. Meresahkan, yaitu karena diyakini untuk membenarkan terhadap tindakan 6 orang laskar FPI yang tewas.

Lho? Bingung, kan? Ngakunya NU. Kenapa mengukurnya tidak berdasarkan kreteria yang telah ditentukan oleh kitab-kitab klasik seperti milik Syaich Abdul Ghani Al-Maqdisi? Atau, setidak-tidaknya berdasarkan indikator yng dinyatakan oleh Abdul Aziz?

Kenapa pendekatannya malah dihubungkan dengan kekuasaan politik? Bukankah dengan demikian justru Gus Rofi’i ini yang politicking?

Pula, bagaimana Husin Shihab dan Gus Rofi’i itu mengukur mengenai niat Haikal? Bagaimana kalau pernyataan Husin Shihab dan Gus Rofi’i juga dinilai mengandung niat untuk penjilat penguasa?

Ahh, saya bukan kiai. Kalau membahas lebih lanjut tentang Nabi Muhammad, khawatir dinilai merampas porsi kiai-kiai NU. Tetapi hati nurani saya berkeyakinan, setiap orang sah-sah saja membuat pengakuan mengenai mimpinya. Termasuk bermimpi bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Soal kiai-kiai NU percaya atau tidak mengenai mimpi-mimpi itu, tidak soal. Yang menjadi soal adalah apabila ketidakpercayaannya tersebut lalu diikuti dengan ejekan dan cemoohan, apalagi ternyata karena kiai-kiai NU tersebut sedang berdekatan dengan penguasa, maka sikap dan keterangan kiai-kiai NU itu pun tidak patut dipercaya.

Toch, banyak juga doktrin agama-agama, baik dalam literatur kitab-kitab klasik, maupun yang kontemporer, mengenai ulama penjilat. Yaitu ulama yang cinta dunia dan kedudukan, menjual ilmu pengetahuannya hanya untuk memberikan pembenar terhadap kebijakan penguasa.

Apakah ulama-ulama NU tidak boleh dinilai mengenai kedekatannya dengan penguasa? Apakah ulama-ulama NU juga tidak dapat dinilai mengenai bagaimana apatismenya terhadap sesama muslim hanya karena menentang kebijakan penguasa? Bahkan tidak ada kiai-kiai NU yang merasa berduka ada sesama ummat Islam dibunuh atas nama kekuasaan?

Wallahu A’lam,,,!!!

- Advertisement -
Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan