SUMENEP (galaksi.id)– Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumenep, selaku penyelenggara Pemilu mulai disorot, terutama dalam pelaksanaan rekrutmen Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang telah digelar beberapa waktu yang lalu.
Sejumlah tudingan melalui statemen di media hingga aksi demonstrasi terus menghiasi pemberitaan media dan perbincangan diberbagai sosial media. Mulai dari KPU digambarkan sebagai ancaman bagi demokrasi, hingga tudingan bahwa KPU merupakan tempat berhimpunnya figur-figur skandalus.
Tudingan terhadap KPU sebagai ancaman demokrasi, dihubungkan dengan hasil rekrutmen PPS yang dicurigai sebagai orang-orang titipan dari Asosiasi Kepala Desa (AKD). Sedangkan sebagai sarang figur skandalus, dihubungkan dengan dugaan adanya pungutan uang kepada calon PPS, mulai dari 3-5 juta Rupiah dalam pelaksanaan rekrutmen tersebut.
Badai tudingan yang menerpa KPU juga memperoleh perhatian serius dari organ Civil Society, antara lain Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Anggaran Publik Madura (LAPDAP-Madura).
Sebagai lembaga yang concern dengan isu-isu politik dan demokrasi, LAPDAP melalui Ketuanya, Muhammad Hasip, S.T., menyatakan bahwa isu yang menerpa KPU dianggapnya sebagai sesuatu yang wajar karena KPU merupakan lembaga publik yang bersinggungan dengan berbagai kepentingan politik.
Kendati demikian, pria yang akrab dipanggil Acik ini mengatakan bahwa sejauh ini pihaknya belum menemukan alasan yang relevan dari tudingan sejumlah organ yang dialamatkan kepada KPU, antara lain Acik mencontohkan bahwa PPS yang lolos seleksi merupakan titipannya Asosiasi Kepala Desa (AKD).
Dikatakan Acik bahwa AKD atau bahkan Kepala Desa (Kades) tidak memiliki kepentingan langsung dengan PPS karena tugas-tugas PPS tidak menyangkut Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), sehingga tuduhan yang demikian tidak masuk akal.
“Menghubungkan PPS dengan Kepala Desa, tidak masuk akal ya”, kata Acik melalui sambungan telpon selulernya. (24/01).
Sedangkan yang berkenaan dengan tuduhan adanya praktek pungutan uang, Acik menyatakan bahwa tuduhan tersebut bersinggungan dengan kriminalitas yang seharusnya tidak menjadikannya sebagai isu, melainkan melaporkannya kepada Aparat Penegak Hukum (APH).
Kendati demikian, Acik tidak mengingkari bahwa dalam pelaksanaan rekrutmen memang berpotensi terdapat penyalahgunaan wewenang, akan tetapi yang berkepentingan adalah calon-calon kentestan politik yang akan berlaga di pemilu 2024 mendatang, terutama yang akan mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif (Caleg), sehingga kalau ada penyelundupan, seharusnya pelakunya adalah caleg-caleg ini.
Acik pun mengaku pihaknya telah menemukan fenomena sekelompok caleg yang berusaha untuk menyelundupkan orang-orangnya di PPS akan tetapi tidak berhasil tembus alias tidak lolos, sehingga kelompok yang tidak berhasil ini selanjutnya berusaha membuat ulah untuk merusak reputasi KPU.
Artinya, kata Acik, tuduhan bahwa KPU tidak netral serta melakukan pungutan liar terhadap calon-calon PPS yang lolos tersebut, sesungguhnya diyakininya sangat beraroma fitnah untuk mencemari KPU.
Disinggung mengenai siapa pelaku dibalik penyerangan KPU dengan fitnah ini, Acik pun menampik memberikan jawaban yang pasti. Kendati demikian, Acik menyebut aktor intelektualnya adalah oknum anggota parpol tertentu yang gagal menyelundupkan orang-orangnya di PPS.
“Ini ya yang disebut maling teriak Maling”, kelakar Acik menutup pembicaraan dengan wartawan. (Ady/Red).