Tentu tidak ada yang menyangkal, termasuk Habib Moh.Rizieq Shihab (HRS) sendiri, bahwa benar pada tanggal 14 November 2020, bertempat di Petamburan Jakarta Pusat, terdapat kerumunan yang disebabkan oleh adanya 2 kegiatan, yaitu Perayaan Perkawinan Puteri HRS, dan Perayaan Maulid Nabi Muhamad SAW.
Dan tokoh besar seperti HRS tentu pantang pula mengingkari fakta bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh pihaknya, dan pelaksanaannya dibantu oleh suatu tim kepanitiaan, yang tidak lain masih merupakan group sendiri (FPI), terdiri dari Ketua, Sekretaris, dst.
HRS berikut FPI-nya mungkin merasa tidak ada yang salah dengan rangkaian perbuatannya. Toch banyak pula tokoh-tokoh lain yang melakukan perbuatan yang sama dengan apa yang dilakukannya, yaitu kegiatan yang menimbulkan adanya kerumunan atau keramaian.
Satu di antara banyak tokoh-tokoh lainnya yang melakukan perbuatan yang sama, antara lain Ghibran, yaitu ketika hendak mendaftarkan diri sebagai Bakal Calon Walikota Solo, Habib Luthfi ketika menggelar Pengajian di Jawa Tengah, dan Abuya Uci Tanggerang ketika menyelenggarakan Haul di pesantrennya.
Belum lagi kalau mengingat adanya oknum polisi yang menyelenggarakan pesta perkawinan putrinya ketika pereode pertama kali diberlakukan PSBB di Jakarta beberapa bulan yang lalu, yang ternyata hanya dikenakan sanksi administratif.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, yang kesemuanya ternyata aman-aman saja, tentu saja wajar apabila HRS dan FPI-nya merasa diperlakukan tidak adil dan diskriminatif ketika menggiring peristiwa ramai Petamburan ini dianggap dan ditindak sebagai tindak pidana.
Tidak hanya HRS dan FPI-nya, setiap orang tentu akan merasa wajar pula kalau pada suatu saat nanti mereka meyakini akan banyak orang yang akan menuduh Polri lebay, ganas dan terlalu berlebihan menangani kasus ramai Petamburan ini. Mereka tentu akan mengingat, mencatat, dan mengenangnya sebagai dosa sejarah Polri bagi Rakyat Indonesia pada umumnya, dan bagi Ummat Muslim pada khususnya.
Bahkan, bukan tidak mungkin pula, pada suatu saat nanti, Polri akan mengalami nasib sama dengan TNI, dilenyapkan atau dikurangi fungsi-fungsi vitalnya dilingkungan pemerintahan, dan diganti dengan POL-PP, atau bahkan aktivis Pramuka. Wallahu A’lam! Tidak ada yang tau kecuali Allah SWT.
Yang ekstrim, akan dianggap wajar juga kalau kelak akan ada orang yang akan memplesetkan NKRI sebagai anonim dari Negara KEPOLISIAN Republik Indonesia. Suatu ungkapan yang sesungguhnya mengandung kritik yang menggambarkan kondisi kepolisian yang tidak lagi sejati sebagaimana dikehendaki maksud pembentukannya.
Berdasarkan fenomena sepak terjang kepolisian seperti tersebut di atas, kiranya akan wajar juga apabila menimbulkan kekhawatiran banyak pihak karena faktor traumatisme masa lalu, yaitu ketika Polisi masih menginduk kepada ABRI (sekarang TNI) di masa Orde Baru. Menjadi kepanjangan tangan politik kekuasaan. Membantai dan membunuh banyak warga negara dalam berbagai kasus HAM masa lalu.
Kembali ke topik,,,
Bila ramai Petamburan adalah pelanggaran Protokol Kesehatan (Prokes), toch HRS sudah dihukum denda sebesar Rp. 50 jt yang sudah dibayar lunas oleh HRS. Bagaimana dengan oknum Polisi yang menyelenggarakan pesta perkawinan puterinya? Apakah juga telah membayar denda? Publik belum mengetahuinya.
Pula, kalau HRS sudah membayar denda, kenapa masih di lakukan proses pemidanaan? Dimana diatur mengenai ini?
Penetapan Tersangka atas diri HRS, secara prosedur memang sulit dipermasalahkan karena lebih banyak bersifat administratif yang mudah untuk direkayasa. Tapi secara substantif, penanganan pidana ini menyisakan banyak rasa penasaran, yaitu sebagai berikut:
Pertama, agresivitas penyidik yang begitu bersyahwat untuk melakukan sesuatu yang tidak nyaman terhadap HRS. Khusus mengenai ini, dapat dirasakan melalui upayanya yang hanya karena tidak hadir 1 kali saja memenuhi panggilan penyidik, Polri sudah meramaikan dengan berbagai statemen dan bahkan sampai melakukan Penguntitan yang akhirnya menimbulkan tragedi baru berupa terjadinya penembakan yang berakibat mati bagi 6 orang pengawal HRS.
Perasaan mengenai keadilan pada setiap nurani publik dengan sendirinya akan timbul penasaran. Sehebat apa kekeliruan HRS sehingga diperlakukan sedemikian rupa? Lebih hebat mana dengan Kekeliruan yang dibuat oleh Harun Masiku yang bahkan sempat dilindungi oleh oknum Polri sendiri? Mengapa terhadap Harun Masiku tidak ramai diperbincangkan sebagai program utama untuk ditangkap?
Kedua; Adanya Unsur Campur Aduk Kepentingan, antara pribadi, tugas-tugas jabatan, dan politik. Siapapun mengerti bahwa pemburuan terhadap HRS, framingnya selalu berhubungan dengan kiprah HRS yang gandrung melancarkan kritik tajam kepada pemerintah, serta pola gerakan FPI-nya yang mendekati ekstrim terhadap realitas kemungkaran, semisal Sweping terhadap tempat-tempat maksiat.
Apa yang perlu dipersoalkan dari kritik HRS? Serta kenapa harus Polri dan TNI yang panas dingin? Toch mengkritik itu adalah hak setiap warga negara dan diperlukan sebagai penyeimbang. Kecuali mengenai gerakan sweping, memang perlu dilakukan penanganan. Tapi mengenai ini masih bersifat kasuistik sehingga tindakan hanya dapat dilakukan terhadap setiap tindakan yang seperti itu, dan tidak dapat dihubungkan dengan kasus ini karena merupakan kasus yang berdiri sendiri.
Unsur adanya aroma campur aduk sangat dapat dirasakan dari berbagai statemen Petinggi Polri, dan bahkan kompak dengan TNI, khususnya dengan Pangdam Jaya Jayakarta, untuk memusuhi HRS dan FPI. Mengenai ini tidak hanya dengan ucapan, bahkan tindakannya pun mencerminkan kebencian pribadi dengan menggunakan jabatan. Menurunkan baliho dan berkampanye pembubaran FPI.
Dengan demikian, maka akan cukup beralasan kalau suatu saat akan ada orang-orang pemberani yang akan menuduh Polri bahwa penanganan perkara atas HRS melalui kasus ini hanya pelampiasan nafsu pribadi yang didasarkan pada rasa ketidaksenangan pribadi dengan menggunakan fasilitas jabatan.
Ketiga; Sumber hukum yang dipakai penyidik dalam menjaring pelaku dalam kasus kerumunan ini, berbeda satu sama lain. Bagi HRS dipakai KUHP, yaitu dengan sangkaan melakukan tindak pidana menghasut orang untuk melakukan tindak pidana Pasal 160 KUHP, dan/atau, tindak pidana melawan petugas Pasal 216 KUHP.
Sedangkan bagi panitia penyelenggara, penyidik menjaringnya dengan Pasal 93 UU-RI No.6/2018 tentang Kekarantinaan kesehatan.
Kenapa bisa berbeda? Hingga saat ini tidak/belum ada media yang mampu memberikan informasi yang jelas mengenai kenapa ada perbedaan penggunaan sumber hukum. Padahal, kalau merujuk pada framing media, termasuk oleh VIVA, Detik, dan Tribunnews, kasus ini mengenai sesuatu peristiwa yang sama, yaitu mengenai penyelenggaraan kegiatan yang menimbulkan keramaian tanggal 14 November 2020, di Petamburan Jakarta Pusat.
Rakyat Kecolongan dan HRS Potensi Bebas Dari Jerat Hukum
Pembedaan penggunaan Sumber Hukum dalam menangani perkara ini, sebetulnya menjadi petunjuk, bahwa selama ini telah terjadi penyesatan pemberitaan yang menggiring opini seolah-olah HRS dipersalahkan karena menyelenggarakan kegiatan yang menimbulkan kerumunan.
Fakta bahwa HRS dijaring dengan Pasal 160 KUHP, membuktikan bahwa besar kemungkinannya HRS tidak lagi dihubungkan dengan kasus kerumunan ini, melainkan dihubungkan dengan kasus lain, yakni berkenaan dengan suatu peristiwa menghasut orang untuk melakukan tindak pidana terhadap pejabat/penguasa.
Artinya, Publik kecolongan. Tidak mengetahui kapan dan dimana HRS melakukan tindak pidana itu. Apa konten hasutannya, dan siapa pejabat atau penguasa yang disasar oleh hasutan itu, kita pun tidak tau.
Dengan demikian, proses Lidik dan Sidik yang berlangsung selama ini, apabila dihubungkan dengan framing media mengenai kasus tersebut, bisa jadi hanya trik penyidik untuk mengelabui publik. Bahwa yang diincar dari HRS bukan mengenai pelanggaran Prokesnya, melainkan mengenai suatu perbuatan lain yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 160 KUHP ini, yakni penghasutan untuk melakukan tindak pidana.
Bahkan, bukan tidak mungkin, atas dasar adanya temuan baru yang diperoleh dalam fakta-fakta penyidikan yang telah dan akan terus berlangsung, HRS bisa dibebani lagi dengan kasus-kasus baru, atau kasus-kasus lama yang bisa jadi diperbaharui.
Akan tetapi, apabila memang benar HRS dipersalahkan karena keramaian sebagaimana framing media, sedangkan yang dipakai oleh penyidik adalah Pasal 160 KUHP, dan/atau Pasal 216 KUHP, maka HRS potensial bebas dari jerat hukum karena antara penerapan hukum dengan perbuatan yang dipersangkakan, tidak memiliki relevansi yuridis.
Demikian pula dengan 5 Tersangka lainnya. cara kerja penyidik yang demikian, menguntungkan mereka sehingga sama-sama potensial bebas dari jerat hukum. Karena bagaimanapun, pelanggaran Prokes pada ramai Petamburan, sudah selesai dipertanggungjawabkan oleh HRS selaku Penyelenggara, yaitu dengan telah membayar denda.
Sungguh kasihan HRS….Kalau betul begitu dia ….Menjadi korban yg tak jelas !!