Pelarangan FPI, YLBH-Madura: Cacat Prosedur dan Substansi

Jailangkung
4 Min Read

galaksi.id. (Jakarta)— FPI resmi dilarang. Tidak saja menjalankan aktivitas organisasinya, menggunakan simbol dan atribut-atributnya juga dilarang. Hal ini disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD dalam konferensi pers dikantornya kemarin, hari Rabu, 30 Desember 2020.

Menurut Mahfud, pelarangan tersebut didasarkan pada Keputusan Bersama 6 Menteri (SKB), antara lain, Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNPT, tanggal 30 Desember 2020.

Kenapa dilarang, berdasarkan isi SKB tersebut, setidaknya terdapat 3 alasan, antara lain karena FPI sejak tanggal 21 Juni 2019 tidak lagi terdaftar di Kemendagri sebagai ormas, berhaluan teroris, dan melegalkan kekerasan atas nama perjuangan agama.

Kenapa disebut berhaluan teroris, lantaran telah ditemukan tidak kurang dari 35 orang yang kesemuanya berlatar belakang FPI atau pernah menjadi anggota FPI terlibat tindak pidana terorisme.

Sedangkan mengenai kenapa disebut melegalkan kekerasan, karena dihubungkan dengan adanya fakta dimana tidak kurang dari 206 orang anggota FPI terlibat dalam tindak pidana umum, gemar melakukan razia atau sweeping terhadap tempat-tempat usaha masyarakat.

Berkaitan dengan pelarangan FPI tersebut, Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Madura, Kurniadi, mengatakan bahwa pelarangan melalui SKB 6 menteri tersebut termasuk produk Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan sebagai penghukuman bagi orang atau badan yang diduga melakukan pelanggaran, yang sifatnya konstitutif.

Menurut Kurniadi, sebagai KTUN, SKB ini melanggar prinsip-prinsip KTUN, dimana pada nomenklatur dan subjek yang dituju tidak jelas karena hanya menyebut Front Pembela Islam (FPI), tanpa menyebut FPI yang mana, dibawah pimpinan siapa, dan yang berlambang apa.

Selain itu, secara prosedur, SKB 6 Menteri tersebut tidak dilakukan melalui tahapan yang diatur dalam UU-Ormas, antara lain tidak terlebih dulu melalui proses peringatan.

Sedangkan dari sisi substansi, alasan pelarangan terdiri dari alasan yang campur aduk dan tidak jelas karena merujuk pada perbuatan orang lain yang terlibat terorisme dan tindak pidana umum. Bukan perbuatan organisasi, in casu, FPI yang imam besarnya adalah Moh. Habib Rizieq Shihab.

Selain dari itu, menurut Kurniadi, Keputusan Pelarangan Ormas, hanya dapat dilakukan untuk dua tujuan, antara lain keperluan menyidik tindak pidana yang ada hubungannya dengan kepercayaan dan aliran sesat. Kedua, sebagai penghukuman administratif.

Oleh karena itu, menurut Kurniadi, tindakan aparat penegak hukum yang menurunkan atribut-atribut FPI di Petamburan, merupakan tindakan tidak profesional dan tanpa dasar hukum. Pasalnya, tindakan demikian hanya didasarkan pada ucapan Menkopolhukam, Mahfud MD.

Apalagi, kata Kurniadi, pernyataan Mahfud MD selaku Menkopolhukam tidak berisi perintah untuk menurunkan segala macam atribut FPI, melainkan hanya bilang “harus ditolak”.

“Kata harus ditolak itu tidak kongkrit. Apa cukup dengan menurunkan baliho atau atribut-atribut lain, ataukah dapat pula disertai proses pidana”.

Menurut Kurniadi, Pelarangan FPI, untuk dapat ditindak harus diatur oleh peraturan perundang-undangan. Tindakan penanganan tidak dapat dilakukan hanya atas dasar inisiatif sendiri.

Yang aneh menurut Kurniadi, Subjek yang dituju itu adalah FPI yang katanya sudah tidak ada sejak tanggal 21 Juni 2019.

“Lha, kalau sudah tidak ada, kok masih dikeluarkan keputusan?” Tandas Kurniadi Penasaran. (Zan).

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan