SUMENEP (galaksi.id)— Tidak seperti pejabat Forkompimda yang seolah berduka ditinggal Bupati Busyro Karim, kalangan organ society di Kabupaten Sumenep bahkan terlihat bersikap sebaliknya. Salah satunya, aktivis yang tergabung di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Madura (YLBH-Madura), dan Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Anggaran Publik (LAPDAP) Madura.
Dua organ society ini, YLBH-Madura dan LAPDAP, justru tampak senang dan bersyukur Bupati Busyro meninggalkan Pemkab Sumenep. Pasalnya, di bawah kepemimpinannya, pemerintahan di kabupaten ini menjauhkan partisipasi masyarakat dari proses-proses pembangunan.
Tidak itu saja, di bawah kepemimpinan Busyro, pemerintahan diliputi kepalsuan. Artinya, untuk menutupi stigma tertutup ini, pemerintah melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sifatnya abal-abal atau lazim disebut LSM Plat Merah, yaitu suatu lembaga yang hanya diperlukan sebagai pembenar mengenai adanya keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan.
Hal ini dikatakan oleh Kurniadi, selaku aktivis pada YLBH-Madura dalam suatu wawancara untuk memberi kesan terhadap kepemimpinan Abuya Busyro Karim yang jabatannya berakhir pada hari ini, Rabu, 17/02/2021.
“Busyro itu berdarah dingin, kejam, dan berwatak palsu. Bukan hanya tak mendengar penderitaan masyarakat, melainkan memanipulasinya secara terbalik”.
Kurniadi mencontohkan karakter kepemimpinan Busyro dalam Pilkades Serentak Tahap-1 tahun 2019 yang lalu. Busyro sama sekali abai terhadap aspirasi masyarakat yang mempersoalkan aspek keadilan pada Peraturan yang dibuatnya.
Bahkan, menurut Kurniadi, Busyro mengabaikan Rekomendasi DPRD Kab. Sumenep yang meminta agar Menunda Pilkades yang sedang terlibat sengketa. Bahkan, menurut Kurniadi, Busyro sampai batas akhir masa jabatannya tetap memperlihatkan kesombongannya yaitu dengan tidak menggubris dan tidak melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya.
Khusus mengenai ketidakpatuhan Bupati Busyro terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tampak pada perbuatannya yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya Nomor: 37/G/2020/PTUN.SBY, Juncto Putusan Nomor:233/B/2020/PT.TUN.Sby.
Selain itu, Bupati Busyro banyak sekali melanggar peraturan perundang-undangan, antara lain tidak melakukan suatu tindakan pemerintahan yang secara nyata telah diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.
“Bupati Busyro banyak sekali tidak membuat Peraturan Bupati Sumenep yang diamanahkan oleh peraturan perundang – undangan. Diantaranya adalah Kewajibannya untuk membuat Peraturan Bupati tentang RPJMDes dan RKPDes,” ucap Kurniadi dingin (17/02).
Menurut Kurniadi, sampai saat ini, kewajiban membentuk Peraturan tersebut telah lewat lebih dari setahun sebagaimana diamanahkan oleh Permendesa PDTT No.17/2019 Ttg Pedoman Umum dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Abainya Bupati Busyro dalam membentuk peraturan yang diamanahkan kepadanya, diyakini Kurniadi merupakan penyebab terjadinya penyelewengan keuangan desa yang dilakukan oleh banyak kepala desa di wilayah kabupaten Sumenep.
Menurut Kurniadi, pelanggaran Busyro terhadap amanah peraturan perundang-undangan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif, antara lain pencabutan hak-hak keuangan jabatannya dan pihaknya segera akan bersurat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur Jawa Timur.
Sementara itu, Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Anggaran Publik (LAPDAP) Madura, Astri Dwi Fariyanti, menyebut Busyro sebagai figur yang potensial disebut plagiat.
Pasalnya, menurut Astri, Bupati Busyro mengklaim pengratisan biaya pilkades kepada calon kepala desa merupakan produknya sebagaimana pernah dinyatakan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Sumenep kepada salah satu media online beberapa waktu lalu.
Menurut Astri, usulan tidak boleh membebankan biaya pilkades kepada Calon Kepala Desa datang dari pihaknya, yaitu melalui surat yang ditujukan kepada Bupati Busyro ketika itu, yaitu tanggal 24 April 2013. (Admin).