Negara Potensi Bubar

Jailangkung
13 Min Read

galaksi.id – Kekagetan demi kekagetan terjadi susul menyusul menjelang akhir tahun (2020) ini. Mulai dari ribut Omnibuslaw, lalu heboh tentang Habib Rizieq Shihab (HRS), hingga meledaknya tuntutan referendum Papua-Papua Barat. Semua terjadi saling tindih menindih sehingga menutupi berbagai fakta penting yang ditimbulkan oleh, dibalik, dan diantara masing-masing peristiwa tersebut.

Orang akhirnya lupa mengapa perlawanan terhadap keberlakuan Omnibuslaw terhenti. Bagaimana nasib ribuan demonstran yang bekas-bekas lukanya, anyir dan darahnya masih belum lenyap akibat menjadi korban amukan kekerasan aparat. Apakah aparat pelaku kekerasan tersebut telah ditangani? Bagaimana peserta demonstran yang diproses pidana. Adakah yang berlanjut dijatuhi hukuman? Tak ada media yang suka memberitakan mengenai ini.

Belum tuntas rasa penasaran mengenai itu semua, tiba-tiba jagat dikagetkan lagi oleh berbagai suguhan berita media mengenai HRS dengan FPI-nya. Bahwa HRS dan FPI-nya merupakan preman berjubah, pemahaman dan perilaku keagamaannya menyimpang dan tidak sesuai Islam, dan bahwa FPI patut dibubarkan karena mengancam disintegrasi bangsa.

Lebih kaget lagi ketika stigma-stigma tersebut didengungkan oleh seorang perempuan seronok bernama Nikita Mirzani yang menyerang martabat HRS yang menyebutnya sebagai tukang obat, perusuh dan mempersoalkan keabsahan HRS sebagai ulama dan Ahlul Bait Al Dzurriyah (keturunan Nabi). Nikita bukan aktivis sosial. Juga bukan aktivis keagamaan. Lalu apa hebatnya Nikita hingga berani menghukumi pemahaman dan perilaku keagamaan HRS?

Kita pun lebih kaget lagi ketika tokoh-tokoh ulama NU (terutama melalui Simbol Gus Miftah dan Abu Janda), memberikan dukungan kepada Nikita seolah ikut senang dan bergembira melihat HRS di-bully oleh hanya seorang perempuan seronok bernama Nikita. Ada apa dengan tokoh-tokoh NU ini?

Sudahlah. Kita tak perlu berdebat dengan tokoh-tokoh NU karena mereka sudah pasti punya bantahannya untuk membela diri. Pasti hanya ngalor-ngidul. Bahwa NU menghendaki Islam itu transformatif, damai dan tidak ada kegaduhan. Tidak seperti HRS dengan FPInya yang suka misu-misu terhadap pemerintah. Tidak bisa sopan dan tidak punya etika.

Benarkah kebencian tokoh-tokoh NU kepada FPI atas dasar perbedaan pandangan keagamaan???

Tidak. Saya rasa tidak begitu. Bahwa HRS dengan FPI-nya memiliki pandangan yang berbeda dengan tokoh-tokoh NU mengenai Islam dalam relasi nation-state, saya yakin tokoh-tokoh NU paham bahwa berbeda pandangan sah-sah saja. Bahkan, adanya banyak perbedaan itu merupakan bukti yang paling sejati mengenai kebesaran Islam sehingga kebenaran Islam tidak dapat dimonopoli oleh kelompok Islam tertentu saja, termasuk oleh NU.

Pula, tentang misu-misu, siapa yang tidak tau masa lalu tokoh-tokoh kiai NU terutama di era 70-an hingga akhir reformasi? Semua pasti sudah tau betapa sebelum berada dipucuk-pucuk pemerintahan, kiai-kiai NU juga memiliki tradisi misu-misu kepada pemerintah yang disampaikan dalam setiap pengajian. Kiai-kiai NU menanamkan kebencian kepada rakyat untuk membenci pemerintah. Bahkan warga NU dulunya merupakan ormas yang paling suka mengkafir-kafirkan ormas lain, antara lain terhadap warga Muhammadiyah.

Lagi, lupakah NU bagaimana ketika Gusdur dibully karena sepak terjangnya yang kontroversial? Apalagi ketika dilengserkan dari kursi kepresidenan? Bukankah terjadi mobilisasi massa besar-besaran untuk membela Gusdur? Bahwa Gusdur itu wali dan tidak boleh diganggu? Bahwa mati karena membela Gusdur itu syahid?

Ahhh,,,!!! Sekarang? Giliran HRS dipuja dan dicintai ummat, ummat yang tidak rela pujaannya dihina, malah tokoh-tokoh NU yang panas dingin. Bahwa HRS itu manusia biasa. Bukan Nabi. Tidak suci. Tak perlu dihormati. Lha, NU lupa, bahwa hingga saat ini di kalangan warga NU masih berlaku tradisi jalan merangkak untuk mendekati kiai. Bahkan, Gus Miftah sendiri Si Pembela Nikita, justru marah ketika kiainya, Habib Luthfi, diremehkan oleh ustadz Maaher At Thuwailibi.

Jika penghormatan atas figur ulama sama-sama diimplementasikan secara demikian di kalangannya sendiri, kenapa tokoh-tokoh NU masih getol memproduksi narasi-narasi kebencian kepda HRS? Bahwa HRS manusia biasalah. Bahwa Habib belum tentu suci dan yang suci hanyalah nabilah. Dan seterusnya. Semua ditujukan hanya karena HRS dipuja-puja oleh ummat.

Lha, kenapa narasi-narasi yang demikian hanya ditujukan kepada HRS? Tidak kepada kiai-kiai NU? Toch bila dibalik, kan berlaku sama bagi mereka? Bahwa Presiden, Para Menteri, Kapolri, Pangdam, termasuk Menkopolhukam Mahfudz MD, Abu Janda, Gus Miftah, dan kiai-kiai NU lainnya semua juga hanyalah manusia biasa. Bukan nabi. Belum tentu suci, terdiri dari darah, daging, tulang, dan kentut. Apa bedanya? Sama saja.

Kenapa Gus Miftah, Abu Janda dan tokoh-tokoh NU lainnya tidak marah kepada perempuan serenok bernama Nikita yang menghina HRS yang nota bene merupakan ulama, dan bahkan malah membela si penghina??? Tentu mereka, kiai-kiai NU ini, tidak mau kalau disebut penggemarnya Nikita yang suka bertelanjang. Mereka tidak mau dicurigai menikmati diam-diam pose dan kemuliaan Nikita Mirzani.

Lalu kenapa mereka sangat membenci HRS dan FPI sedangkan ke Nikita mereka membelanya ketika disebut Lonte alias perempuan lacur?

Hilangnya rasa keadilan. Yach, kebencian mereka kepada HRS dan FPI membuat mereka tidak adil. Tokoh-tokoh NU sudah lupa atau telah dengan sengaja melalaikan kewajibannya untuk berlaku adil terhadap sesama. Apa itu adil? Tokoh-tokoh NU tak perlu diajari lagi. Adil itu bebasnya suatu keputusan dan sikap dari pengaruh hawa nafsu.

Bila demikian, percayakah kita apabila tokoh-tokoh NU dalam melancarkan serangan mendegradasi HRS dan FPI karena dimotivasi untuk membersihkan Islam dari ajaran HRS yang katanya menyimpang? Lha, kan katanya Islam itu bukan hanya milik FPI. Kenapa sekarang malah NU yang seolah-olah pemilik tunggal atas Islam dan FPI tidak berhak atas Islam? Tidak konsisten.

Jadi, tidak mungkin. Kebencian tokoh-tokoh NU terhadap FPI bukan karena untuk menegakkan Islam, melainkan dapat diduga karena faktor cemburu dan iri hati. Takut kalah saing. Takut kalau-kalau tokoh-tokoh NU itu kembali tersingkir dari pusat-pusat kekuasaan dan kembali hanya berputar-putar dari satu pengajian ke pengajian lainnya seperti yang dulu-dulu itu. Tidak ada akses terhadap kekuasaan, kehilangan nama besar dan uang.

Illustrasi berbagai kemungkinan di atas, toch dulunya sudah pernah diingatkan oleh Imam Al-Ghazali mengenai akan munculnya Ulama-ulama Suu’ (Ulama buruk), yaitu ulama yang mabuk harta dan cinta kedudukan sehingga bisa dibeli oleh kekuasaan hanya demi uang, pengaruh dan kedudukan itu sendiri.

Duh, Gusti,,,!!! Pertanda apakah ini? Saat antar ulama sudah saling serang dan saling mendegradasi. Yang satu bicara atas nama agama dipanggung kekuasaan, yang satu juga atas nama agama berteriak minta keadilan dijalanan. Ulama yang dijalanan, atas nama agama juga akhirnya hanya dibully dan dinistakan. Sedangkan ulama yang berada dipanggung kekuasaan hanya merem melek menikmati kekuasaan dan menikmati keadilannya sendiri.

Tidak itu saja, negara yang juga didukung oleh ulama-ulama NU, mendegradasi HRS dan FPI. Menkopolhukam tajam lidahnya. Membuat statemen yang memberi angin segar bagi Polisi untuk gencar menangkapi dan hendak memenjarakan HRS atau siapa saja yang menjadi pendudukungnya melalui isu kerumunan dan ujaran kebencian.

TNI juga mulai berani belajar mengulang kesalahan dan dosa sejarah masa lalu. Hendak menjilat kekuasaan yaitu dengan memobilisasi prajurit dan pasukan untuk berkampanye pembubaran FPI dan mencopoti atribut FPI dijalanan, yang nota bene bukan tugas dan wewenangnya. Kalau tidak mau dianggap penjilat, lalu untuk apa TNI bergagah-gagahan hanya karena berani menghadapi FPI???

Jadi, tidak masuk akal kalau pemerintah hendak menegakkan hukum. Kecuali hanya sekadar menyalahgunakan hukum sesuai dengan seleranya sendiri. Bila atas nama kerumunan orang bisa dipidana, toch si Ghibran tidak diusut ketika menimbulkan kerumunan pada saat mendaftarkan diri sebagai Calon Kepala Daerah Solo pada September 2020 yang lalu.

Bila atas nama penghinaan orang bisa dipidana, kenapa Nikita Mirzani dibiarkan bebas melanggang kangkung setelah usil berceloteh buruk tentang HRS sedangkan Ustdz Maaher sudah ditangkap karena dianggap menghina Habib Luthfi?

Bila atas nama hukum perbuatan pejabat diluar wewenangnya dapat dihukum, mengapa Pangdam Jaya Jayakarta Mayjen TNI Dudung Abdurrachman tidak diproses hukum? Ia mencaplok tugas dan wewenang Pol-PP dalam hal menurunkan Baliho HRS serta mengkampanyekan tuntutan pembubaran FPI.

Tidak. Tentu bukan karena penegakan hukum. Tapi karena adanya konspirasi kekuasaan yang dilatari oleh perasaan kebencian pribadi sang pejabat kepada HRS yang senantiasa gencar melancarkan kritik terhadap kekuasaan.

Sepak terjang Polisi dan TNI di masa ini, sungguh sangat menggiriskan. Dua institusi ini rawan mengulang dosa sejarah. Kejahatan HAM akan kembali terulang. Mereka bebas membantai dan membunuh secara sadis warga negaranya sendiri.

Perseteruan NU vs FPI juga mengerikan. Tak boleh keduanya diperhadapkan sebagai lawan. Keduanya sama-sama aset Islam dan negara. Harus saling menghormati. Jadi, sebaiknya tokoh-tokoh NU sadar dan menghentikan kebiasaannya membully FPI. Boleh tetap nempel di lingkaran kekuasaan, tapi tidak perlu menciderai saudara sendiri.

Apalagi ternyata, FPI hanya melanjutkan kebiasaan kalian di masa lalu. Yaitu masa dimana kalian belum berkuasa dan tersingkir dari pos-pos kekuasaan. Masa dimana kalian juga hanya mampu memisu-misu kekuasaan tanpa mampu menggerakkan barisan.

Apabila keadaan semacam ini terus dipertahankan, maka kehidupan berbangsa dan bernegara sudah berada dalam bahaya yang sulit dihindarkan. Konflik horizontal. FPI vs NU.

FPI merupakan sekumpulan warga negara yang berhak untuk menyatakan sikap dan pendapatnya mengenai kehidupan agama dalam negara. Dilindungi hukum agama dan negara. FPI bukan ancaman. Akan tetapi dapat menjadi ancaman kalau ia diadu dengan NU atau kelompok-kelompok kemasyarakatan lainnya.

Masalah nyata dalam bernegara hari ini adalah mengenai hutang luar negari yang terus melangit. Hutang yang tidak mungkin dapat dibayar sampai tujuh turunan. Apalagi dalam keadaan perilaku pemerintahan yang masih koruptif yang terus berlanjut. Bangsa berada dalam ancaman kemiskinan. Belum terasa hari ini, akan tetapi ketika negara tak lagi mampu membayar hutang, rakyat pun yang akan ditindas. Diperas seperti sapi perahan.

Ingatlah itu Duhai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Musuh kita juga adalah perilaku koruptif dan penegakan hukum yang tebang pilih. Harun Masiku tak tertangkap. Korupsi Sumber Waras juga tak jelas. Polisi, jaksa dan KPK lenyap diantara kasus-kasus korupsi yang melibatkan Para Pajabat kelas kakap.

Di bawah isu-isu itulah kita ummat Islam bersatu padu, menuntut : Copot Pangdam Jaya Jayakarta Dudung Abdurrachmancopot Kapolri,,,!!!.

Bila tidak demikian, maka benar dugaan bahwa pemerintah mengangkangi demokrasi, mengadu domba kelompok-kelompok Islam, dan sisi lain sibuk hanya memperkaya diri sendiri dan kroni-kroninya.

Bila demikian, maka tujuan hidup bernegara telah gagal dan disalahgunakan. Maka tak ada cara lain kecuali negara bubar. Dan setiap pemaksaan untuk tetap bersatu di bawah Rejim yang gagal, patutlah dilawan. Hidup atau mati,,,!!!.

Sumenep, 05 Desember 2020

- Advertisement -
Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan