ARTIKEL : Kurniadi, – Presiden Prabowo Subianto pada tanggal 31 Juli 2025 memberikan Amnesti kepada Hasto Kristianto (Sekjen PDI-P) dan memberikan Abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), yang keduanya terlibat dugaan tindak pidana korupsi.
Meski Amnesti dan Abolisi memiliki perbedaan definisi, akan tetapi secara substansi keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sama-sama bentuk pengampunan negara kepada warga negaranya yang tersangkut kasus hukum.
Akan tetapi, berdasarkan fakta kesejarahan, pemberian Amnesti dan Abolisi ditujukan pada tindak pidana yang bermuatan politik, yaitu tindak pidana yang dilakukan karena “motif” dan “tujuan” politik yang berdampak pada stabilitas keamanan dan keutuhan wilayah nasional. (Kecuali dalam kasus pemberian Amnesti oleh Presiden Jokowi kepada Baiq Nuril 2019).
Masuk dalam pengertian tindak pidana “delik politik” adalah separatisme, pengrusakan fasilitas publik dalam suatu aksi demontrasi, fitnah dan penghasutan mengenai diri pejabat pemerintahan, kampanye hitam dalam proses pemilu, dan seterusnya.
Apakah dugaan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan Hasto dan Tom Lembong masuk “Delik Politik” yang dapat diberikan Amnesti dan Abolisi? Tidak. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang berorientasi pada mencari atau memperoleh keuntungan finansial. Tidak sebagai kritik, dan tidak juga bertujuan pada perubahan politik.
Dengan demikian, Keputusan Presiden yang memberikan Amnesti dan Abolisi kepada Hasto dan Abolisi kepada Tom Lembong, seharusnya mengandung cacat hukum yang patut dibatalkan.
Selain itu, pemberian Amnesti dan Abolisi terhadap tindak pidana korupsi, sama saja dengan presiden membuka jalan pintas menuju korupsi. Karena asal dekat dengan penguasa politik, korupsi tidak apa-apa. Bertentangan dengan semangat perang melawan korupsi.
PRESIDEN MENYALAHGUNAKAN WEWENANG
Meski belum ada dokumen resmi mengenai apa pertimbangan presiden dalam memberikan Amnesti dan Abolisi, akan tetapi tentu saja, publik sudah bisa mengira-ngira kalau kebijakan tersebut pasti didasarkan pada pertimbangan “Rekonsiliasi” atau “demi stabilitas keamanan nasional”. Toch, lazimnya begitu dalam pemberian Amnesti dan Abolisi.
Di bawah nalar di atas, Presiden mungkin menilai atau berasumsi kalau kedua figur ini punya kemampuan destruktif yang bisa menghambat jalannya pemerintahan. Apalagi, mengikuti penanganan perkara kedua figur tersebut, publik melancarkan kritik keras dan menyindir-nyindir proses penegakan hukum. Karenanya, situasi ini relevan digolongkan sebagai “potensi mengancam stabilitas nasional”.
Tapi penting juga untuk dicatat, penanganan hukum yang memicu gejolak publik tidak hanya terjadi pada Hasto dan Tom Lembong. Sebelumnya juga pernah beberapa kali terjadi, bahkan dengan frekuensi yang jauh lebih besar. Diantaranya kasus “Cicak-Buaya“. Toch, penyelesaiannya bukan dengan Amnesti dan Abolisi.
Apakah karena respon publik yang tidak puas dengan proses penanganan hukum atas diri Hasto dan Tom Lembong, memiliki makna gangguan stabilitas keamanan? Ataukah karena Hasto dan Tom Lembong sendiri dinilai memiliki kekuatan peledak untuk mengacau negeri, melampaui kasus Cicak-Buaya?.
Jika iya, penilaian seperti ini cenderung dibuat-buat dan tidak logis karena Hasto maupun Tom Lembong, meskipun keduanya tergolong figur besar akan tetapi tidak cukup besar untuk mewakili dengan apa yang disebut situasi stabilitas nasional, sehingga pemberian Amnesti atas diri Hasto dan Abolisi terhadap Tom Lembong, tidak memenuhi syarat untuk disebut “Rekonsiliasi Nasional”;
Selain itu, jika ancaman stabilitas keamanan negara diukur dari banyaknya protes publik, maka akan sangat berbahaya di masa-masa yang akan datang karena seseorang dapat menghindar dari tanggungjawab hukum hanya karena bisa menggerakkan massa dan opini publik.
Berdasarkan hal-hal yang disebut di atas, maka pemberian Amnesti kepada Hasto dan pemberian Abolisi kepada Tom Lembong, lebih mendekati pada kepentingan politik pribadi presiden, yaitu menanam hutang budi kepada Hasto selaku petinggi PDI-P, yang di masa depan diharapkan dapat mendukung kepentingan presiden maupun kepentingan partainya.
RAMALAN INDONESIA POTENSI RUNTUH MENDEKATI BENAR DAN NYATA!
Mencermati fenomena pro kontra yang mengitari kasus Hasto dan Tom Lembong, maka akar persoalan yang sesungguhnya terletak pada perilaku penegakan hukum yang tidak akuntable. Mulai dari Jaksa KPK hingga Hakim Pengadilan.
Tak perlu orang pandai, orang awam pun sudah bisa merasakan kalau proses hukum atas diri Hasto dan Tom Lembong, menyisakan banyak rasa penasaran. Sederhananya, dikriminalisasi. Jadi, masalahnya ada pada APH itu sendiri.
Jika akar masalahnya demikian, maka perbaikannya seharusnya diarahkan pada evaluasi integritas moral APH, termasuk di dalamnya memaksimalkan fungsi-fungsi pengawasan internal maupun eksternal yang terkait dengan institusi-institusi APH tersebut. Bukan dengan Amnesti dan Abolisi.
Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan Aparat Penegak Hukum (APH) atas warga negara yang diduga melakukan tindak pidana, tidak hanya dapat ditemui dalam kasus Hasto dan Tom Lembong saja. Keduanya hanya diuntungkan karena memiliki kemampuan sumberdaya yang cukup. Mulai dari uang, pengaruh, hingga koneksi yang membuatnya mampu menggerakkan opini publik dan mengusik petinggi-petinggi negara untuk ikut campur. Bagaimana dengan nasib rakyat yang tidak mampu dan miskin?
Bagi orang yang menjalani praktek pendampingan hukum, kesewenang-wenangan APH jamak terjadi. Bahkan, hampir terjadi pada semua kasus pidana. Kenapa? Sepatutnya diduga antar institusi penegakan hukum ini seperti telah terdapat kesepakatan untuk saling mengamankan kepentingannya satu sama lain. Polisi tak ingin jaksa menolak berkas perkara penyidikannya dan Jaksa tak ingin Hakim melemahkan dakwaannya. Hubungan antar institusi ini seperti telah tertanam, berurat dan berakar.
Kira-kira apa sebabnya? Karir dan keuntungan finansial. Apalagi terhadap kasus-kasus yang tidak menjadi perhatian publik, tidak ada intervensi petinggi-petinggi negara, jangan harap ada keadilan. Semua ditentukan oleh uang dan pengaruh kedekatan emosional. Begitulah kira-kira kesan publik.
Presiden dan publik seharusnya memberikan perhatian serius pada hubungan institusi antar penegak Hukum ini. Jika tidak, negara akan benar-benar runtuh seperti diramalkan oleh sebuah lembaga penelitian independen non- profit, The Fund for Peace (FFP), yang menyebut Indonesia masuk dalam kategori negara dengan tingkat kerentanan tinggi yang dinyatakan dalam Fragile States Index (FSI) 2024.
Sengkarut penegakan hukum di Indonesia, menurut saya, terjadi karena pertikaian elit dengan menggunakan penguasa-penguasa hukum. Hal mana merupakan faktor teratas dalam indikator yang digunakan FPP yang menyebabkan Indonesia menjadi rentan runtuh.
Presiden, berbenah segera,,,!!!
Penulis : Kurniadi (mantan Aktivis OMIK dan OMEK)