Gaduh tentang SKB 6 Menteri, Hufron: Cacat Wewenang Juga

Jailangkung
8 Min Read

galaksi.id. (Surabaya)— Pelarangan FPI melalui SKB 6 menteri menjadi perbincangan paling panas dari seluruh isu-isu apapun saat ini. Mulai dari aktivis NGO, politisi, Ormas, hingga pakar hukum. Mulai dari yang mendukung hingga yang menolak.

Kali ini redaksi melakukan wawancara dengan Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Hufron., SH., MH. Dosen Univ.17 Agustus (Untag) Surabaya, dengan maksud untuk memperoleh gambaran mengenai aspek hukum pelarangan FPI tersebut.

Dr. Hufron, SH., MH., merupakan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas 17 Agustus (UNTAG) Surabaya, sekaligus selalu aktif dalam memberikan perhatian terhadap dinamika dan Konstalasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berikut kutipan wawancara Redaksi dengan Pakar Hukum Tata Negara tersebut :

Redaksi : Apa kabar, pak? Semoga bapak baik2 saja, ya. Oh ya, apakah Bapak mengikuti tentang ramai dilarangnya FPI untuk beraktivitas oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama 6 Menteri?

Pakar : Alhamdulilah kabar saya baik, mas. Tentang ramai pelarangan FPI, saya mengikuti juga dari media, mas! Termasuk dari berita yang disuguhkan oleh galaksi ini. Haaa,,, haaaa,,,,!!!;

Redaksi : Bagaimana sikap bapak terkait dengan Pelarangan tersebut,,,???;

Pakar : Saya memahami SKB 6 menteri ini. Akan tetapi secara akademik atau dalam konteks keilmuan hukum, kita bisa diskusikan atau dilakukan pengkajian secara mendalam berdasarkan prinsip negara hukum yg demokratis.

Redaksi : Banyak yang mengatakan bahwa SKB 6 Menteri tersebut merupakan Produk Tata Usaha Negara. Benarkah demikian? Bila benar, bagaimana menguji keabsahan SKB tersebut,,???;

Pakar : Benar. SKB 6 Menteri tersebut adalah produk Tata Usaha Negara (KTUN). Sedangkan pengujian mengenai keabsahannya, harus dilihat dari 3 parameter, yakni Kewenangan, Prosedur dan Substansi;

Redaksi: Baiklah. Sesuai parameter yang tadi disebutkan salah satunya adalah Kewenangan. Artinya, yang mengeluarkan keputusan punya wewenang apa tidak untuk mengeluarkan keputusan ini. Pertanyaannya:

1. Apakah 6 Menteri tersebut kesemuanya berwenang untuk menerbitkan Pelarangan FPI?;
2. Jika tidak semua punya wewenang, bisa disebutkan siapa yang berwenang dari yang 6 tersebut,,,???;
2. Bila ternyata salah satu dari 6 ternyata ada yang tidak berwenang, apa akibat hukumnya bagi SKB ini,,,???;

Pakar : Terus terang saya masih belum mendalami soal itu, mas. Harus buka kitab dulu. Tapi kalau dari nalar hukum saya, saya belum yakin dengan kewenangan Kominfo.

Redaksi : Baiklah, khusus mengenai Segi Kewenangan kita lewati dulu. Kita beranjak pada Parameter Kedua dalam kerangka menguji sah tidaknya SKB ini, yakni dari Segi Prosedur. Bagaimana pendapat Pakar mengenai SKB ini dari sudut Prosedur penerbitannya,,,???;

Pakar : Menurut saya, Prosedurnya tidak tepat karena melangkahi ketentuan Pasal 60 UU-Ormas, yang menyebutkan bahwa pelarangan terhadap suatu Ormas harus terlebih dulu dilakukan melalui Surat Peringatan!

Redaksi : Dalam Diktum Kesatu, SKB menyebutkan sebagai berikut: “Menyatakan Front Pembela Islam adalah Organisasi yang tidak terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga secara de jure telah bubar sebagai Organisasi Kemasyarakatan”. Bagaimana pendapat Pakar?

Pakar : Diktum kesatu tidak tepat mas. Tidak terdaftar tidak berarti secara de jure bubar karena Pendaftaran lebih bersifat administratif, karena menyangkut dengan pertanggungjawaban hukum pengurus ormas yang bersangkutan.

Redaksi : Apa maksud dari kata “tidak terdaftar tapi tidak berarti bubar”?;

Pakar : Begini, mas. Ormas itu dibagi 2. Ada Ormas yang berbadan hukum dan ada Ormas yang Tidak Berbadan Hukum. Status berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, berkaitan

Redaksi : Apa makna dari kata bahwa Berbadan Hukum apa tidak merupakan bentuk pertanggungjawaban Pengurus Ormas,,,???;

Pakar: Itu untuk keperluan pembuktian Ormas yang bersangkutan. Misalnya, Ormas Berbadan Hukum dibuktikan dengan SK Menkumham, sedangkan Ormas Tidak Berbadan Hukum, pembuktiannya dengan pendaftaran berupa SKT (Surat Keterangan Terdaftar);

Redaksi : Selain itu, apalagi yang membedakan Ormas Berbadan Hukum dengan yang tidak,,???;

Pakar : Berbadan Hukum, berarti terpisah antara aset ormas dan pribadi pengurus..tindakan ormas sbg rechtpersoon (BH), berbeda dg tindakan pribadi pengurus (naturlijk persoon) Pendaftaran itu bukan merupakan bukti eksistensi yuridis sebuah ormas atau perkumpulan. Eksistensi ormas dan perkumpulan itu dibuktikan misalnya, akte pendirian yg dibuat di hadapan notaris;

Redaksi : Diktum Kedua dalam SKB tersebut menyebutkan begini: “Front Pembela Islam sebagai Organisasi Kemasyarakatan yang secara de jure telah bubar, pada kenyataannya masih terus melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketentraman, ketertiban umum dan bertentangan dengan dengan hukum”. Bagaimana pendapat Pakar mengenai isi diktum kedua ini,,,???;

Pakar : Alasan menggangu ketentraman, ketertiban umum dan bertentangan dengan hukum, harusnya dibuktikan secara hukum di pengadilan atau melalui proses peradilan (due process of law);

Redaksi : Jadi, menurut Pakar, isi Diktum Kedua dari SKB tersebut tidak benar,,,???;

Pakar : Menurut saya tidak benar,,,!!!;

Redaksi : Diktum Ketiga dalam SKB tersebut menyebutkan begini: “Melarang dilakukannya kegiatan, penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Menurut pendapat Pakar bagaimana tentang diktum itu,,,???;

Pakar : Pelarangan atau penghentian kegiatan, dst sebenarnya merupakan sanksi administratif ke-3 sebelum dibubarkan, yg mestinya didahului peringatan tertulis, seperti maksud pasal 61 UU No 16/2017..seperti yang mas Kurniadi sampaikan di berita di atas,,,!!!;

Redaksi : Diktum Keempat dalam SKB tersebut menyebutkan begini: “Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diurai dalam diktum Ketiga di atas, Aparat Penegak Hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh Front Pembela Islam”. Ditanyakan kepada Pakar,

Pakar : Sudah saya jawab di atas. Setiap yang melanggar dapat ditindak oleh Aparat Penegak Hukum karena azas presumptio iustae causa. Artinya, sebelum SKB tersebut belum dibatalkan oleh pengadilan.

Redaksi : Pasca diumumkannya SKB ini oleh Menkopolhukam, TNI/Polri ngeluruk ke Petamburan yang menjadi Markas FPI, mengumumkan kepada masyarakat tentang FPI yang sudah terlarang, dan mencopoti seluruh atribut FPI. Pendapat Pakar, apakah tindakan tersebut sudah benar?

Pakar : Haaaa,,, haaa,,,,!!!! (Pakar tidak menjawab);

Redaksi : Atau saya ubah pertanyaan menjadi begini, apakah kalau suatu saat TNI/Polri kedapatan memakai atribut FPI, apakah kepada yang bersangkutan dapat di proses pidana???;

Pakar : Hmmmmmzzz,,,!!! (Pakar masih mikir);

Redaksi : Kalau suatu saat dijalanan kedapatan ada orang memakai kaos FPI, lalu bajunya diperintahkan oleh TNI/Polri, sedangkan si Pemakai menolak melepas kaosnya karena tidak ada kaos pengganti, apakah si pemakai kaos dapat dijerat pidana dengan pasal melawan petugas,,,???;

Pakar : Haaaaa,,, haaaa,,,!!!! (Lagi-lagi pakar tidak menjawab): (Red.);

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan