OPINI,– Hampir setiap hari dalam sebulan ini (Juni 2024) saya memperoleh kiriman pesan teks what’App dari seorang teman yg namanya tersimpan diponsel saya tercatat bernama Hambali. Wartawan senior salah satu media besar Jowa Pos Radar Madura.
Mulanya saya tidak begitu memperhatikannya karena sekilas dibaca kontennya soal politik Sumenep menjelang Pilkada 2024. Mulai dari tentang Dewi yang gagal memperoleh rekom, hingga tentang partai politik.
Suatu ketika, pada suatu senja, saya kembali memperoleh kiriman teks dari Hambali, dan secara kebetulan memperoleh pesan teks dari teman yang juga sudah lama tak jumpa. Namanya Very, wartawan senior MaduraEkspose, menanyakan apakah saya dikota. Maksudnya saya tau, Very mengajak saya untuk bertemu, ngopi dan diskusi.
Very dan Hambali merupakan teman lama dari kalangan pers yang suka mengaduk-aduk opini publik dengan berita-berita kontroversial. Kadang melahirkan geram, kadang memilukan.
Saat itulah saya mulai merindui teman. Hambali dan Very. Saya mulai kembali memperhatikan pesan-pesan teks dari Hambali. Dan yang membuat saya terkejut, Hambali selalu menutup pesan teksnya dengan menggunakan nama “DEWI”. Yach, Dewi.
Saya mulai mencandai Hambali dengan sebutan Sontoloyo karena mengubah auranya dari pria gagah yang bergemuruh menjadi perempuan yang lemah lembut. Dewi.
Saya juga mencandai Very yang menyebut Sumenep sebagai Kota, padahal saya menyebutnya RT (Rukun Tetangga), dan Bupatinya adalah Ketua RT. Yach, RT Sumenep.
Saya, Hambali, dan Very kemudian menjadi seru dalam komunikasi Whats’App. Tapi intinya, topiknya mulai menyentuh isu-isu politik. Mulai dari Fauzi (Calon Bupati Petahana) tak terkalahkan. Calon Tunggal dan Tak Ada saingannya, hingga soal peta partai politik dan parlemen.
Saya mengatakan, Fauzi tak ada saingan memang masuk akal secara fakta karena dibelakangnya ada sang Paman Besar : Said Abdullah. Sosok yang konon melimpah sumberdaya keuangannya, memiliki pengaruh yang sulit disentuh oleh siapapun, bahkan oleh hukum. Figur yang seharusnya dilekati pengkhianat oleh partainya, bahkan melenggang bebas memainkan peran. Bagi saya, Ironis.
Fauzi tanpa tanding bukan kenyataan yang patut dibanggakan karena merupakan cermin kemerosotan sumberdaya politik dan potret dari kegagalan pembangunan politik. Fauzi yang mulanya hanya pedagang kelontong kecil, kemudian karena mampu menjadi boneka Sang Paman, akhirnya memberi kesan mampu dan tak terkalahkan. Sungguh membuat saya cemburu.
Fauzi tanpa tanding merupakan produk pembangunan opini yang didasarkan pada situasi partai politik terkini, terutama partai-partai besar. Partai yang sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda mau bersaing dengan Fauzi Sang Calon Petanaha. Entah lemah, pasrah, ataukah justru tak peduli sama sekali.
Rekrutmen politik melalui saluran pemilu, baik oleh partai besar maupun kecil, kesannya tak lebih seperti lowongan pekerjaan dan sarana pembangunan gengsi. Yang penting banyak uang dan pandai mencari suara, itulah yang direkrut sebagai wakil partai di parlemen.
Opini Fauzi tak tertandingi sama sekali tidak mampu mengusik sentimen partai. Padahal harusnya menimbulkan perasaan malu karena tidak mampu melahirkan kader-kader yang memiliki nilai jual.
Partai politik, lembaga swadaya masyarakat, pers dan bahkan hingga organisasi kepemudaan, tidak peduli fenomena lemahnya institusi kontrol resmi pemerintahan.
Padahal, menurut saya, Fauzi mudah dijatuhkan dan dibegal di tengah jalan dan dikirim ke balik jeruji besi. Perilaku pemerintahannya sarat dengan skandal. Mulai dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Sayang, tidak ada yang peduli mengawal martabat demokrasi. Partai politik cukup bangga dengan memiliki wakil di parlemen. LSM, Pers, Ormas dan Kepemudaan cukup bangga dengan distribusi rejeki yang diserap dari pos-pos belanja daerah.
Tulisan ini saya dedikasi kepada Very, Hambali dan Dewi sebagai balasan candaan mengenai situasi politik yang menjengkelkan.
Surabaya, 21 Juni 2024
Kurniadi (Aktivis Pro Demokrasi pada Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Anggaran Publik/LAPDAP).