Mahasiswa, Aku Menangisimu dengan DARAH Dan KENTUT,,,!!!!

Jailangkung
6 Min Read

Refleksi Gerakan Reformasi 21 Mei 1998 Yang Ke-23

———————————

RENTANG panjang sejarah perubahan-perubahan besar Indonesia, bahkan dunia, nyaris tidak ada satupun yang tidak melibatkan Peranan mahasiswa. Apalagi di era gerakan demokratisasi gelombang ketiga (1974-1990), Samoel P. Hungtington menyebut mahasiswa justru sebagai lakon utama.

Pergolakan revolusi yang kemudian berujung pada jatuhnya penguasa terjadi susul menyusul ke sejumlah negara. Mulai dari Eropa, Amerika Latin, Asia, Asia Tenggara, Rusia, dan bahkan Timur Tengah.

Juan Peron di Argentina terjungkal pada tahun 1955, Ayub Khan di Pakistan tumbang tahun 1956, Polandia dan Hongaria bergolak pada tahun 1957, Perez Jimines di Venuzula guling pada tahun 1958, Kishi di Jepang hengkang dari jabatannya tahun 1960, dan di Indonesia sendiri Soekarno tumbang pada tahun 1967.

Gerakan Demokratisasi kemudian masuk pada Gelombang Ketiga pada tahun 1974-1990, mula-mula meledak di Portugal (Eropa Barat) melalui Revolusi Mawar, disusul negara-negara eks Blok Timur yang kemudian mengubah sistem pemerintahannya menjadi demokratis.

Dalam dasawarsa 1980-an, gerakan demokratisasi juga merambah ke negara-negara di kawasan Asia. India pada tahun 1977 dan Turki pada tahun 1980. Sedangkan di Timur Tengah, di negara Iran, Reza Pahlevi telah tumbang terlebih dulu pada tahun 1979.

Gelombang Ketiga di kawasan Asia Tenggara menimpa Filipina yang kemudian ditandai dengan tumbangnya Ferdinand Marcos pada tahun 1985, disusul Korea Selatan dimana Chun Doo Hwan tumbang, kemudian Hongaria (Eropa Tengah) pada tahun 1988, kemudian Uni Soviet pada tahun 1989.

Di Indonesia sendiri gerakan demokratisasi Gelombang Ketiga mulai terjadi dalam kurun waktu 1980-1990-an. Gerakan pertama kali ditandai dengan meletusnya gerakan Malari tahun 1974, NKK/BKK tahun 1978, hingga mencapai puncaknya yang paling spektakuler pada tahun 1998 melalui gerakan Reformasi dimana Rejim Soeharto Tumbang. Disusul oleh lengsernya Presiden Habibie dan berlanjut ke pelengseran Gusdur pada tahun berikutnya.

Dengan demikian menjadi sangat jelas, kehadiran mahasiswa dalam gelanggang politik kebangsaan selalu berlawanan dengan despotisme kekuasaan dan menekuknya hingga tumbang. Yang lebih sopan, gerakan mahasiswa selalu berorientasi pada terjadinya perubahan politik (political changes).

Fakta kesejarahan keterlibatan mahasiswa dalam dinamika politik kebangsaan tersebut, sekaligus menjadi Hak Sejarah bagi mahasiswa untuk kemudian memperoleh berbagai julukan istimewa. Diantaranya sebagai “Minority Profetic” yang dipopulerkan Jack New Field, dan “Minoritas Kreatif” yang dipopulerkan oleh Arnold Toynbee.

Sebagai “Minority Profetic”, mahasiswa dibayangkan seperti nabi dalam menata kehidupan sosial ummatnya karena yang dilakukannya menjangkau hal-hal mendasar dan fundamental. Sedangkan sebagai “Minoritas Kreatif”, mahasiswa dibayangkan sebagai kelompok kecil akan tetapi memiliki kemampuan besar mengubah arah dan haluan sejarah. Ibarat kata pepatah: “Semut Bertenaga Gajah”.

Ah, itu dulu. Sekarang bagaimana? Terutama di Indonesia? Dibagian akhir lembar sejarah terdapat pitutur betapa mahasiswa kemudian digambarkan lumpuh karena beraninya hanya bercekcok dan saling gempur dengan teman sendiri yang mengakibatkan mahasiswa Mati suri.

Fenomena pertentangan antar mahasiswa Pertama kali terjadi pada era pemerintahan Habibie, dimana mahasiswa tidak lagi solid menggempur Habibie. Satu pihak menuntut Habibie harus turun, sebagian lainnya menghendaki mempertahannya.

Polarisasi gerakan mahasiswa menjadi semakin memburuk di era pemerintahan Gusdur karena sebagian besar mahasiswa justru membela dan mempertahankan Gusdur agar tidak lengser dari jabatan presiden.

Saya berpendapat, puncak kejatuhan mahasiswa terjadi di era Megawati sampai sekarang, era pemerintahan Jokowi-Makruf, karena betapapun di era Habibie dan era Gusdur mahasiswa sudah terpolarisasi akan tetapi mahasiswa masih memiliki harga untuk ditarik menjadi bagian dari faksi-faksi politik.

Sedangkan mahasiswa hari ini, merupakan generasi yang tidak lagi mengerti status kesejarahannya, yang tidak lagi hadir sebagai kekuatan korektif bagi kekuasaan sebagaimana generasi-generasi pendahulunya.

Yang fenomenal, lolosnya RUU KPK, MK, Minerba, dan Omnibuslaw menjadi Undang-Undang, sudah cukup membuktikan betapa lemah dan buruknya kualitas mahasiswa hari ini. Mahasiswa pemburu nilai dan hanya pandai mengkhayal tentang lapangan kerja untuknya setelah lulus kuliah.

Di bawah fakta yang demikian, predikat Mahasiswa sebagai Agent Of Changes, Agent Of Social Control, Moral Force dan Man Analisys, tak lagi layak disematkan kepada mahasiswa hari ini. Inilah sebabnya kenapa Hermawan Sulistyo menyebut mahasiswa pasca reformasi sebagai Generasi Ding-Dong, yaitu generasi yang tidak lagi memiliki tanggungjawab sejarah.

Generasi Ding-Dong tak lagi memiliki beban sejarah untuk melanjutkan tugas-tugas pendahulunya untuk melakukan perubahan-perubahan besar bagi bangsa dan negaranya.

Generasi Ding-Dong tidak akan mengerti betapa UU Omnibuslaw sesungguhnya memusuhi Desentralisasi yang dilahirkan atas cita-cita gerakan reformasi ‘98. Otonomi Daerah kini hanya tinggal nama belaka karena berbagai kewenangan strategis yang semula dimiliki oleh Pemerintah Daerah telah diambil kembali oleh pemerintah pusat melalui Omnibuslaw.

Generasi Ding-Dong juga tidak mungkin mengerti betapa Otonomi Daerah saat ini, dulunya diperoleh melalui perjuangan panjang, yang tidak hanya berkorban air mata, melainkan juga telah menewaskan ribuan rakyat, baik dari kaum buruh, pegiat hukum, demokrasi, dan HAM, serta sejumlah mahasiswa sendiri yang tewas terbunuh dalam kasus Trisaksi dan Semanggi.

Mahasiswa Ding-Dong, aku menangisimu dengan darah dan kentut,,,!!!.

—————————-

*Penulis adalah Mantan Aktivis Mahasiswa Intra Kampus (OMIK) pada Kampus Univ. Trunojoyo Madura (UTM), aktivis Ekstra Kampus (OMEK) pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sekarang Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Madura.

- Advertisement -
Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan