JAKARTA, galaksi.id,- Putusan Sengketa Pemilihan Presiden/wakil Presiden Pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) tentu diharap-harap cemas oleh banyak pihak. Tidak hanya oleh Paslon yang bersengketa, melainkan juga oleh seluruh tumpah darah Indonesia.
Putusan mengenai sengketa tersebut tidak hanya akan menentukan mengenai siapa Presiden mendatang, melainkan juga akan mengaduk-aduk dunia intelektual-akademik lantaran mengetengahkan 2 mazhab yang seolah-olah saling bertentangan. Hukum Responsif versus Hukum Positiv.
Hukum Responsif dipedomani oleh Pemohon/Penggugat Paslon 01 dan 03, yaitu membentangkan sengketa proses untuk diadili MK padahal menurut Hukum Positif yang dipedomani Tergugat KPU penyelesaian sengketa proses merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dalam arti, bila MK menganut Hukum Positiv, maka Gugatan Pemohon/Penggugat haruslah dinyatakan tidak dapat diterima. Tetapi jika MK menganut Hukum Responsif, MK dapat memeriksa dan mengadili sengketa proses demi keadilan hukum substantif.
Tapi benarkah Pemohon/Penggugat menegakkan dalil-dalil gugatannya berdasarkan Hukum Responsif dan Termohon/Tergugat KPU berpijak pada Hukum Positif? Pertanyaan ini memperoleh tanggapan dari Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Madura (YLBH-Madura), Kurniadi, SH.
Aktivis yang juga concern dalam isu-isu politik dan demokrasi ini menyatakan gugatan Pasangan Calon No. Urut-01 dan 03 tidak sepenuhnya memenuhi syarat untuk dimasukkan sebagai Hukum Responsif karena hal-hal yang dituntut, khususnya mengenai diskualifikasi dan pemungutan suara ulang, tidak sejalan dengan kaedah hukum Responsif.
Dikatakan Kurniadi, jika Paslon 02 Prabowo-Gibran dinilai tidak memenuhi syarat administrasi, maka petitum gugatannya seharusnya menuntut perolehan suara Paslon 02 Prabowo-Gibran harus dinyatakan batal demi hukum. Atau, perolehan suaranya dianggap tidak ada alias NOL.
Lebih lanjut, sosok yang populer dengan julukan Raja Hantu ini mengatakan bahwa kekeliruan KPU sepanjang mengenai penetapan paslon dan hasil pemilu, seharusnya tidak berefek pada pemungutan suara ulang, melainkan harus melantik dan mengesahkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak kedua setelah Probowo-Gibran, yaitu Anies-Muhaimin.
“Bila dalil tidak terpenuhinya syarat administrasi pada Prabowo-Gibran terbukti, seharusnya Anis-Muhaimin ditetapkan sebagai Pasangan Calon yang berhak diangkat dan dilantik sebagai presiden ya,”, Ulas Kurniadi kepada wartawan melalui pesan teks whatts’App (18/04).
Selain itu, kata Kurniadi, pemungutan suara ulang bukan putusan yang tepat dan tidak adil karena merugikan peserta Pilpres dan pemborosan yang membebani keuangan negara. (Red).